Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Kisah Rubicon di Negeri (Bukan) Surga Pajak

Kompas.com - 24/02/2023, 10:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

VIRALNYA kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satrio (21) terhadap David (17) di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Senin (20/2/2023), menyisakan problematika lainnya.

Perhatian publik kini tak hanya tertuju pada kasus hukumnya, melainkan juga pada seluk beluk kehidupan Mario yang merupakan anak dari pejabat eselon III Kabag Umum Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo.

Sementara David anak pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor, afiliasi Nahdlatul Ulama (NU).

Setidaknya ada dua permasalahan yang menyita perhatian publik dalam kasus ini. Pertama, penganiayaan terhadap anak di bawah umur, menyebabkan korban sekarat dan dirawat di ICU RS Medika Jakarta Selatan.

Pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolres Metro Jakarta Selatan.

Kedua, adanya sorotan terhadap gaya hidup pelaku dan keluarga. Pasalnya, Mario terbukti membawa mobil Jeep Wrangler Rubicon sebelum menganiaya David, yang diduga dilakukan atau disaksikan bersama dua rekan lainnya.

Mobil Rubicon tersebut telah dibawa ke Polsek Pesanggrahan sebagai barang bukti.

Bukan hanya itu, Jeep Rubicon tersebut ternyata belum dibayar pajaknya. Jeep Rubicon itu juga diketahui menggunakan pelat nomor bodong.

Setelah ditelusuri pihak kepolisian, pelat nomor tersebut ternyata tidak sesuai dengan peruntukkannya. Adapun diketahui pelat nomor asli dari Jeep Rubicon tersebut adalah 'B 2571 PBP'.

Ditelusuri dalam laman Informasi Data Kendaraan dan Pajak Kendaraan Bermotor Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kendaraan dengan nomor polisi B 2571 PBP terdaftar atas model Jeep Wrangler 3.6 AT. Mobil berkelir hitam itu juga merupakan kendaraan kepemilikan pertama.

Mobil ditaksir memiliki nilai jual Rp 318 juta dan pajak sebesar Rp 6.678.000 juta. Namun karena 'Masa Pajak Habis', maka beserta denda besaran pajaknya menjadi Rp 6.989.600.

Mobil telah melewati jatuh tempo waktu pembayaran pajak pada 4 Februari 2023. Tentu saja taksiran tersebut bersifat relatif. Bisa jadi nilai pajak yang harus dibayar lebih besar dari taksiran.

Anehnya lagi, tidak ada satu pun mobil Jeep terdaftar di laporan harta kekayaan milik ayah Mario, Rafel, berdasarkan LHKPN 2021.

Aset Rafael yang berupa alat transportasi hanya Toyota Camry 2008 Rp 125 juta dan Toyota Kijang 2018 Rp 300 juta.

Tak habis pikir, hal-hal seperti itu masih terjadi di negeri yang jelas-jelas bukan surga bagi penggemplang pajak.

Indonesia jelas bukan tax heaven country, maka sudah sepatutnya kasus-kasus penghindaran pajak yang dilakukan justru dari internal pajak tak boleh terjadi lagi.

Jika tanpa evaluasi dan perbaikan yang berarti, wajib pajak akan terus menghindari pajak sampai ia terdeteksi melakukannya (Allingham, 1972).

Crocker dan Slemrod (2005) juga mewanti-wanti bahwa penghindaran pajak memang akan menguntungkan wajib pajak, tetapi berisiko akan tertangkap.

Penghindaran pajak akan terus berlanjut selama mungkin sampai mereka tertangkap. Artinya, besar kemungkinan penghindaran pajak akan tumbuh subur jika belum viral. Haruskah menungu viral, barulah semua diperbaiki?

Banyak teori menyebutkan bahwa kecenderungan praktik penghindaran pajak akan terus berlanjut hingga deteksi risiko ketahuan menjadi lebih besar.

Wajib pajak akan terus berupaya meminimalkan kewajiban pajaknya dengan berbagai cara. Kecenderungan penghindaran pajak perusahaan akan dipertahankan sampai terdeteksi dan kemudian viral.

Kasus ini memang bukanlah kasus besar penghindaran pajak seperti Panama Papers. Ini hanya secuil cerita yang mengingatkan kita bahwa penghindaran pajak masih terjadi di dalam negeri, bahkan tak perlu jauh-jauh mengejar pajak sampai ke luar negeri.

Bagiamana pun tentu ini akan berpengaruh pada reputasi pengelolaan pajak kita. Secara global, Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah menduduki peringkat 11 dari 30 negara dalam hal tingkat penghindaran pajak sebagaimana dipublikasikan dalam database International Center for Policy and Research (ICPR) dan International Center for Taxation and Development (ICTD) dengan jumlah pajak yang tidak dibayarkan ke negara diperkirakan mencapai 6,48 miliar dollar AS per tahun (Cobham dan Janský, 2018).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa memang masih banyak pihak yang berusaha menghindari pajak (Gloria, 2018).

Seperti kasus pajak Rubicon yang belum dibayarkan ini mengindikasikan ada pengaruh koneksi dan kekuatan politik dalam penghindaran pajak. Ironisnya, mobil tersebut bukan milik orang sembarangan, melainkan milik salah satu pejabat pajak.

Untuk itu, tanpa membuang waktu lagi, otoritas pajak harus lebih fokus pada isu-isu keberlanjutan dalam menyempurnakan kebijakan perpajakan yang sudah ada.

Lebih teknis, otoritas pajak dengan kerjasama berbagai institusi juga dapat memetakan profil wajib pajak berdasarkan karakteristik koneksi politik.

Hasil pemetaan profil wajib pajak dapat menjadi dasar bagi account representative dalam menggali potensi pajak di kalangan yang memiliki kedudukan, koneksi, dan kekuatan politik.

Kriteria koneksi politik dapat memperkaya kriteria manajemen risiko kepatuhan wajib pajak dan kriteria audit khusus bagi wajib pajak untuk meminimalkan risiko penghindaran pajak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com