Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Ekonomi Indonesia 2023: Yang Harus Diwaspadai Meski Tak Akan Resesi

Kompas.com - 24/02/2023, 17:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

EKONOMI global pada 2023 diyakini tak akan semuram sejumlah proyeksi yang dilansir sejauh ini. Indonesia bukan perkecualian. Namun, Indonesia harus mewaspadai ketahanan fiskal, apalagi ada sejumlah proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara.

"Ekonomi global berada di tempat yang lebih baik daripada yang diperkirakan beberapa bulan lalu," kata Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen, Kamis (23/2/2022), menjelang pertemuan para menteri keuangan G20 di India, sebagaimana dikutip AFP.

Yellen menyoroti sejumlah proyeksi yang mengkhawatirkan ekonomi global akan mengalami perlambatan tajam di seluruh dunia, selepas pandemi Covid-19 dan seturut invasi Rusia ke Ukraina. 

"Tantangan yang kita hadapi nyata dan masa depan selalu tidak pasti tetapi prospeknya membaik," ujar Yellen.

Optimisme serupa ditegaskan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Hari Wibowo.

"Sejumlah proyeksi beberapa bulan kemarin terlalu pesimistis," ujar Dradjad dalam perbincangan telepon dengan Kompas.com, Kamis.

Baca juga: IMF Prediksi Sepertiga Ekonomi Dunia Masuk Resesi, Sri Mulyani: Indonesia Tidak Termasuk

Bukan berarti kewaspadaan atas situasi ekonomi boleh dilonggarkan sepenuhnya. Invasi Rusia ke Ukraina, kata Dradjad memberikan contoh, juga tetap berdampak bagi Indonesia.

"Harga energi berbasis minyak dan gas (migas) tetap mahal, salah satunya. Lalu, ekspor impor kita juga harus bisa lebih cermat mendapatkan pasar dan pasokan," ujar Dradjad.

Dradjad memperkirakan, dalam waktu dekat akan harus ada restrukturisasi harga terkait subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan gas terkait isu energi ini.

"Subsidi energi harus benar-benar lebih tepat sasaran," ujar dia.

Sebagai pengingat, sejak 2005 Indonesia sudah menjadi net importer minyak. Produksi minyak di dalam negeri (lifting) tidak lagi mencukupi kebutuhan penggunaan BBM nasional. 

Dengan harga minyak yang fluktuatif bahkan sempat jauh melampaui asumsi makro di APBN, selisih harga impor minyak dan harga jual BBM selama ini ditambal menggunakan subsidi.

Sejumlah pembatasan subsidi BBM—kemudian juga gas—menurut Dradjad masih belum efektif karena tidak sepenuhnya tepat sasaran. Situasi ini yang membuat alokasi subsidi energi menjadi bengkak dan membebani APBN.

Baca juga: IKN Nusantara, Ibu Kota di Klaster Kota Jangkauan Sempit

Adapun terkait isu ekspor dan impor terkait invasi Rusia ke Ukraina dan situasi perekonomian global, Dradjad berpendapat sekarang adalah waktu yang tepat untuk menguji kembali posisi Indonesia sebagai inisiator Gerakan Non-Blok.

"Harus bisa seperti India dan negara-negara kawasan Teluk. Kepentingan nasional harus dikedepankan," tegas Dradjad.

Momentum sikap politik internasional ini perlu bagi perekonomian nasional untuk mendapatkan pasar bagi produk ekspor dan sebaliknya memperoleh harga impor yang kompetitif untuk kebutuhan di dalam negeri. 

Pengaruh invasi Rusia ke Ukraina terhadap peluang bisnis Indonesia antara lain tergambar dari laporan BI Perwakilan Jawa Tengah periode Februari 2023.

"...perlambatan akan didorong oleh penurunan permintaan ekspor produk TPT, alas kaki, dan furnitur di AS dan Eropa yang merupakan pasar andalan Jawa Tengah," ujar Kepala BI Perwakilan Jawa Tengah, Rahmat Dwi Saputra, dalam siaran pers-nya, Kamis (9/2/2023). 

Sebagaimana diketahui, Eropa dan AS mengalami kontraksi ekonomi yang cukup signifikan, antara lain tersebab faktor pasokan energi yang terdampak invasi Rusia ke Ukraina. Situasi di kedua wilayah tersebut berdampak pula menghadirkan ketidakpastian global, termasuk untuk ketahanan pangan

Baca juga: Krisis Pangan Global, Ancaman Lebih Besar dari Invasi Rusia ke Ukraina

Risiko ketahanan fiskal

Lebih lanjut Dradjad menilai Indonesia harus meningkatkan kewaspadaan terkait ekonomi, bukan lagi dari ancaman resesi melainkan soal ketahanan fiskal. 

"Risiko terbesar saat ini ada di fiskal. Padahal, (Indonesia) masih ada pekerjaan besar seperti Ibu Kota Nusantara, juga energi baru terbarukan (EBT). Biayanya dari mana?" tanya Dradjad.

Investasi masih menjadi andalan, lanjut Dradjad, tetapi dia memperkirakan pemerintah akan berupaya mendapatkan lebih banyak dana selain dari China. Bagaimana pun, kata dia, segala yang berlebihan tidak baik, termasuk untuk sumber pendanaan seperti ini.

Chairman sekaligus pendiri Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) ini pun menyarankan pemerintah lebih fokus dan percaya diri dengan konsumsi domestik.

"Ada lost opportunity dari konsumsi domestik, yang ini adalah pasar, yang seharusnya bisa memberikan pemasukan buat kita sendiri, bukannya memperbanyak atau membiarkan impor. Harus dorong lagi produksi sendiri," ujar Dradjad. 

Menggelorakan kembali pertanian, lanjut Dradjad, adalah langkah yang bagus. Namun, dia mengingatkan pula bahwa sumber defisit karena impor tidak hanya berasal dari sektor pertanian. 

Baca juga: Sri Mulyani Sebut Krisis Pangan Global Berpotensi Berlanjut hingga 2023

"Dari sisi teknologi, saya kira konsumsi domestik belum optimal digarap. Hari ini, siapa yang tidak menggunakan ponsel? Masa kita tidak bisa membuat ponsel produk dalam negeri?" kata Dradjad memberikan contoh peluang terlewat dari konsumsi domestik. 

Menurut Dradjad, sumber daya manusia Indonesia masih kurang mendapat fasilitas di bidang pengembangan teknologi. Dia pun menyuarakan hilirisasi adalah keniscayaan yang harus terus digelorakan.

Meski demikian, hilirisasi harus mengantisipasi pula terulangnya jurang kesenjangan karena penguasaan sumber daya oleh segelintir orang laiknya pada era Orde Baru. 

"Jangan sampai terulang (kesenjangan yang mencolok). Pemerataan harus dipastikan," tegas dia.

Dradjad menegaskan, ketahanan fiskal adalah tantangan terberat Indonesia pada 2023.

"APBN tiga tahun terakhir terlihat sehat karena ada burden sharing dari Bank Indonesia (BI). Lebih tepat kalau disebut a heavy burden bagi BI. Sekarang tidak bisa lagi ada burden sharing, sementara tax ratio murni masih sangat rendah," papar Dradjad.

Baca juga: Tahun 2023, Pemerintah Hentikan Burden Sharing dengan BI

Burdhen sharing adalah upaya untuk menangani stabilitas keuangan negara dalam kondisi krisis. Di Indonesia, kebijakan ini dipakai selama penanganan Covid-19, berupa kerja sama Kementerian Keuangan dan BI dalam membiayai penanganan Covid-19. 

Semula, kebijakan tersebut hanya direncanakan berlaku selama satu tahun. Namun, praktiknya berjalan hingga 2022 karena kebutuhan biaya yang tak ada preseden sebelumnya selama Covid-19.

Belakangan, UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang diundangkan pada 3 Januari 2023 memasukkan klausul burden sharing dalam salah satu ketentuannya.

Dalam UU ini, burden sharing mengharuskan BI membeli surat berharga negara (SBN) jangka panjang di pasar perdana bila Indonesia dilanda krisis. 

Baca juga: Aturan Burden Sharing di UU PPSK Dinilai Bisa Timbulkan Masalah

Saat ini, setelah Covid-19 tidak lagi berstatus pandemi, dengan kondisi perekonomian yang juga belum sepenuhnya pulih seperti sebelum wabah, kebutuhan pendanaan mau tidak mau ditutup lagi dan lagi dengan penerbitan emisi obligasi memaki kupon imbal balik yang tinggi di pasar. Utang lagi, utang lagi. 

Pemulihan yang terlambat

Kembali ke proyeksi resesi yang diyakini tak akan terjadi di Indonesia pada 2023, Dradjad mengingatkan bahwa pemulihan ekonomi Indonesia saat ini terlambat dibanding negara-negara di kawasan. 

Ketika ada krisis seperti pandemi atau krisis moneter, tutur Dradjad, pola yang jamak terjadi adalah pertumbuhan ekonomi akan anjlok sampai ke angka negatif. Setelah mencapai level terendah, pertumbuhan akan naik kembali, biasanya dengan kenaikan sangat tinggi.

Baca juga: Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa

Setelah fase kenaikan sangat tinggi, lanjut Dradjad, pertumbuhan akan melambat dan terkonsolidasi ke level rata-rata pertumbuhan jangka panjang dari suatu negara.

"Tren itu yang terlihat dari data (negara-negara) ASEAN 5 + Vietnam," sebut Dradjad. 

Dengan tren tersebut, Dradjad melandaskan keyakinannya bahwa resesi tidak akan menyambangi Indonesia dan negara-negara kawasan ini. Bahkan Thailand yang mencatatkan pola perekonomian terjelek pun seusai pandemi, kata dia, masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif. 

Dari pola yang jamak terjadi tadi, Dradjad menilai Indonesia saat ini berada di fase pemulihan pertumbuhan ekonomi pasca-pandemi. Terlebih lagi, kata dia, harga minyak dunia sudah lebih stabil dibandingkan saat pandemi dan awal invasi Rusia ke Ukraina. 

"(Bukan resesi), yang mungkin terjadi adalah konsolidasi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level intrinsiknya atau ke level rata-rata jangka panjangnya. Level intrinsik ini biasanya sama atau dekat-dekat dengan tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga," papar Dradjad.

 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 perlu disyukuri, lanjut Dradjad, tetapi dia meminta para menteri di bidang ekonomi dan keuangan tidak menyesatkan presiden dan masyarakat dengan klaim berlebihan yang cenderung bombastis.

"Sebaiknya obyektif saja sehingga kebijakan ekonomi keuangan yang strategis bisa diambil dengan lebih tepat," ujar Dradjad.

Terlebih lagi, data memperlihatkan pemulihan ekonomi Indonesia justru relatif terlambat dalam pola pertumbuhan ekonomi terkait krisis, dibanding negara-negara kawasan.

Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN 5 + Vietnam 2020-2022

(Sumber: Kompilasi Data Dradjad H Wibowo dari Laporan Resmi Otoritas Statistik Masing-masing Negara)

Negara

2020 (%)

2021 (%)

2022 (%)

Rata-rata 2020-2021 (%)

Rata-rata 2021-2022 (%)

Indonesia

-2,07 3,69 5,31 2,31 4,50

Malaysia

-5,6 3,1 8,7 2,07 5,90

Singapura

-3,9 8,9 3,6 2,87

6,25

Thailand

-6,2 1,5 2,6 -0,70

2,05

Filipina

-9,5 5,7 7,6 1,27

6,65

Vietnam

2,91 2,58 8,02 4,50

5,30

Pada 2020, sebut Dradjad, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada peringkat kedua dari enam negara ASEAN. Lalu, pada 2021 peringkatnya turun menjadi ketiga, dan pada 2022 menjadi peringkat keempat. 

Dilihat dari kinerja pemulihan, rata-rata pertumbuhan Indonesia pada 2021-2022 adalah 4.5 persen, di bawah Filipina (6,65 persen), Singapura (6,25), Malaysia (5,90), dan Vietnam (5,30), tapi di atas Thailand (2,05).

Baca juga: Dari Mana dan Berapa Ongkos Ibu Kota Negara?

Jika resiliensi alias daya tahan perekonomian terhadap pandemi dimasukkan, yaitu dengan memasukkan pertumbuhan pada 2020 maka Indonesia menduduki peringkat ketiga. Yang paling resilien atau berdaya tahan tinggi terhadap pandemi adalah Vietnam, disusul Singapura dan Indonesia.

Peringkat ini belum melibatkan indikator kesehatan publik seperti tingkat kematian dan tingkat kesakitan. Pertumbuhan ekonomi Vietnam bahkan tetap positif pada tahun 2020. 

"Negara-negara kawasan sudah mulai masuk ke level rata-ratanya sekarang, kita baru menuju," imbuh Dradjad soal angka-angka di atas. 

Terkait tema keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023, yaitu ASEAN Matters: Epicentrum of Growth, Dradjad berharap Indonesia menjadi episentrum pertumbuhan ASEAN ketika ASEAN menjadi episentrum pertumbuhan dunia. 

Naskah dan ilustrasi: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com