Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Flexing, Ketimpangan Ekonomi, dan Pentingnya Pajak Kekayaan

Kompas.com - 28/02/2023, 14:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

FLEXING alias pamer kekayaan menjadi fenomena baru sejak era media sosial. Terbaru, flexing yang dilakukan oleh Mario Dandy Satrio, yang terlibat kasus penganiayaan pada 20 Februari 2023 lalu.

Anak pejabat di Direktorat Jenderal Pajak itu suka flexing di media sosialnya. Ia kerap memamerkan mobil hingga sepeda motor mewah, seperti Rubicon dan Harley Davidson.

Ada dua hal yang mencuat belakangan. Pertama, tidak semua barang mewah itu terlaporkan di LHKPN. Kedua, beberapa barang mewah yang dipamerkan Dandy, seperti Jeep Rubicon, terindikasi menunggak pembayaran pajak.

Ini yang bikin geli. Tidak sedikit orang kaya yang suka flexing, tetapi kontribusi pajak mereka sangat minimal.

Kontribusi pajak orang kaya

Dari tahun ke tahun, jumlah orang kaya Indonesia terus meningkat. Bahkan, ketika situasi ekonomi dunia dibuat muram oleh pandemi, jumlah orang kaya Indonesia tetap meningkat.

Dalam laporan The Wealth Report 2022 yang dipublikasikan Knight Frank per 1 Maret 2022, jumlah orang super-kaya Indonesia (ultra high net worth individuals/UNWHI) dengan kekayaan bersih 30 juta dollar AS (Rp 458 miliar, kurs 15.000/dollar AS) mencapai 1.403 orang pada 2021. Jumlah ini meningkat 1 persen dari 1.390 pada 2020.

Dari laporan itu juga diprediksi, jumlah orang kaya Indonesia (High Net Worth Individuals/HNWI) dengan kekayaan di atas 1 juta dollar AS (Rp 15 miliar, kurs: 15.000/dollar AS) akan meningkat sebesar 63 persen sepanjang 2021 hingga 2026.

Ironisnya, kontribusi pajak orang kaya masih sangat minimal. Berdasarkan laporan DJP tahun 2021, kontribusi PPh Orang Pribadi (OP) non-karyawan hanya berkontribusi 0,7 persen atau sekitar Rp 10,77 triliun dari total realisasi penerimaan pajak yang senilai Rp 1.448,2 triliun.

Kontribusi tersebut kalah jauh dari kontribusi PPh orang pribadi kelompok karyawan (PPh 21) yang mencapai 9,9 persen atau sekitar Rp 143,8 triliun dari total penerimaan pajak.

Bahaya ketimpangan ekonomi

Di sisi lain, negara ini sedang berhadap-hadapan dengan ketimpangan ekonomi yang cukup lebar.

Data World Inequality Report (WIR) 2022 menunjukkan, sebanyak 50 persen masyarakat lapisan bawah punya pendapatan rata-rata Rp 22,6 juta per tahun (Rp 1,9 juta per bulan).

Sementara 10 persen masyarakat lapisan atas pendapatannya rata-rata Rp 285 juta per tahun (Rp 23,7 juta per bulan).

Lebih lanjut, dalam 100 tahun terakhir, 10 persen masyarakat terkaya menguasai 40-50 persen pendapatan nasional. Sebaliknya, 50 persen ekonomi terbawah hanya menguasai 12-18 persen dari total pendapatan nasional.

Tentu saja, ketimpangan ekonomi bukan sekadar soal merenggangnya jarak sosial dan kehidupan antarwarga negara. Bukan sekedar perbedaan nasib dan peluang hidup. Bukan sekedar rumah mewah yang dikurung tembok tinggi versus rumah-rumah kumuh yang berdempetan.

Lebih dari itu, ketimpangan ekonomi juga memupuk kekecewaan, ketidakpuasan, dan kebencian. Ketimpangan menciptakan ketegangan sosial, yang jika tak terselesaikan dengan baik, bisa berubah menjadi letupan sosial.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com