KETIKA pertama kali masuk kerja pada pertengahan tahun 1990-an, atasan saya adalah generasi yang lazim disebut baby boomer (Orde Lama, lahir tahun 1946-1964). Generasi Orde Lama lahir saat Indonesia sedang membangun sebuah negara.
Alhasil generasi Orde Lama memiliki karakter tangguh, optimis, dan pekerja keras. Mereka memiliki kemandirian tinggi dan fokus pada pengembangan diri.
Saya adalah generasi x (Orde Baru, lahir tahun 1965-1980). Generasi Orde Baru bertumbuh ketika ekonomi global dan nasional membaik. Tetap bekerja keras tetapi tidak sekeras generasi Orde Lama. Generasi x dikenal sebagai pemecah masalah yang handal dan seorang good manager, mampu mengelola waktu dan pekerjaan dengan baik.
Baca juga: Kenali Ciri-ciri Generasi Z, Kelebihan dan Kelemahannya
Kembali pada pola hubungan saya dengan atasan saya. Jelas sekali ketika saya pertama kali masuk kerja, atasan memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang jauh melebihi saya. Karena itu, saya harus belajar dari atasan. Atasan adalah guru dan saya (bawahan) adalah murid.
Seiring bergulirnya waktu, ketika saya pada posisi managerial, bawahan saya mayoritas generasi y (milenial atau sebut saja Era Reformasi yang lahir tahun 1981-1997). Era ketika teknologi (komunikasi) mengalami revolusi. Koneksi internet membaik dan mudah diakses. Telepon seluler mulai diproduksi massal. Inilah awal mula era digital.
Kondisi ekonomi jelas semakin baik. Pendidikan mereka juga semakin tinggi dan semakin bervariasi dibanding generasi Orde Baru. Alhasil mereka memiliki karakter realistis, penuh keinginan, percaya diri, multitasking, dan suka hal baru. Mereka cepat beradaptasi terhadap perkembangan teknologi.
Ada perbedaan signifikan antara atasan saya, saya, dan bawahan saya. Jika dulu saya belajar dari atasan, maka menghadapi anak buah (terutama yang milenial akhir, lahir tahun 1990-an ke atas), saya justru banyak belajar dari mereka. Saya hanya menang pengalaman dan insight. Pengetahuan dan keterampilan (terutama yang terhubung dengan teknologi) generasi milenial lebih menguasai.
Dalam lima tahun terakhir, generasi z (era Pasca-reformasi, lahir tahun 1998-2010) mulai memasuki dunia kerja. Mereka generasi asli (penduduk) digital. Saat generasi z lahir sudah terhubung dengan beragam aplikasi dan platform internet. Mereka adalah manusia yang multitasking, cerdas, dan segala sesuatu ingin serba instan.
Cara bekerjanya melampaui SOP (standard operating procedure), yaitu menggunakan cara sendiri tanpa harus melanggar SOP. Jika generasi Orde Lama dan Orde Baru adalah generasi aset, maka generasi z dan generasi milenial akhir adalah generasi experience (pengalaman).
Mereka ingin mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya ketimbang mengumpulkan aset. Mereka lebih senang menjelajahi kolong Bumi untuk mendapat aneka pengalaman daripada dipusingkan dengan mengangsur cicilan rumah.
Badan Pusat Stastistik (BPS) dalam rilis terbaru tentang komposisi penduduk Indonesia menerangkan bahwa generasi Kemerdekaan (lahir sebelum 1945) sebanyak 1,87 persen, Orde Lama 11,56 persen, Orde Baru 21,88 persen, Reformasi (milenial) 25,87 persen, Pasca-reformasi (Z) 27,94 persen, Pasca-Z sebesar 10,88 persen.
Komposisi itu juga menjelaskan komposisi rata-rata pekerja pada berbagai organisasi. Gabungan antara generasi milenial dan Z menjadi mayoritas pekerja, antara 60-70 persen.
Isu tentang perang talenta yang digulirkan konsultan global McKinsey's tahun 1997 tetap menemukan relevansinya pada era multi disrupsi ini. Banyaknya generasi Z yang memasuki dunia kerja, akhirnya menyisakan gugatan, “Bagaimana agar talenta terbaik generasi Z tertarik dan berkarya pada sebuah perusahaan?”
Ada sebuah perusahaan yang berdiri sejak 1973. Perusahaan ini fokus pada agro industri dengan produk utama nanas, singkong (tapioka), pisang, jambu beserta produk turunan lainnya.
Karena model bisnisnya menggunakan konsep ekonomi sirkular, maka semua produk harus dapat dimanfaatkan. Dalam perkembangannya, perusahaan ini mengembangkan peternakan sapi.
Baca juga: 3 Prioritas Generasi Z dalam Pekerjaan, Ternyata Bukan Uang