Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nikel Indonesia Jadi Incaran Dunia, Asosiasi Penambang: Perlu Pembatasan Penjualan Kadar

Kompas.com - 07/03/2023, 07:07 WIB
Agustinus Rangga Respati,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyatakan, untuk menciptakan pemerataan pengelolaan dan bisnis di industri pertambangan dan pengelolaan nikel perlu dilakukan beberapa hal.

Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, di Indonesia dominan berdiri smelter pirometalurgi yang mengolah bijih nikel kadar tinggi (saprolit) kadar 1,8 persen untuk bahan baku stainless steel.

Sementara, cadangan bijih nikel di Indonesia lebih banyak kadar rendah (limonit) untuk bahan baku EV battery.

"Untuk menjaga ketersediaan cadangan dan optimalisasi limonit, diperlukan pembatasan kadar bijih nikel yang diizinkan untuk diperjualbelikan maksimal 1,6 persen," ujar dia dalam The APNI (Asosiasi Penambang Nikel Indonesia) 6th Birthday Ceremony, Senin (6/3/2023).

Baca juga: Luhut Rayu Pemerintah China Investasi di Sektor Pengolahan Nikel hingga Bandara di RI

Meidy mengatakan, harus ada sanksi bagi pemasok dan juga penerima apabila kadar yang dikirim lebih dari 1,8 persen.

Lebih lanjut, ia menjelaskan Indonesia saat ini sedang dilirik dunia seiring gencarnya program dan gerakan renewable energy.

Di sektor transportasi, pengembangan industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) menjadi program unggulan untuk menekan polusi udara yang ditimbulkan dari asap kendaraan konvensional.

Untuk menekan penggunaan BBM dari fosil, telah dikembangkan baterai untuk menggerakkan mesin EV.

“Nikel merupakan komoditas yang dibutuhkan bahan baku EV battery. Indonesia merupakan negara pemilik sumber daya, cadangan, bahkan produsen nikel terbesar dunia. Maka, nikel Indonesia menjadi incaran dunia internasional,” ujar dia.

Selain itu, APNI menyarankan pemerintah harus mewajibkan kepada smelter untuk memberikan neraca kebutuhan akan bahan baku (nikel ore) kepada Kementerian ESDM untuk membahasnya dengan penambang.

"Terutama dengan APNI untuk memperhitungkan kemampuan suplai dari para penambang," imbuh dia.

Lebih lanjut, ia menjelaskan adanya kerugian negara terhadap suplai nikel ore yang melalui jalur darat atau pengangkutan dengan mempergunakan truk.

Dengan begitu, nikel ore tersebut langsung masuk ke smelter tanpa adanya pembayaran atas e-PNBP dan juga tidak menyertakan dokumen asal barang.

"Kementerian ESDM dan Satgas HPM juga harus segera menyusun Harga Patokan Mineral (HPM) Limonit (low grade)," tandas dia.

Baca juga: Cadangan Bijih Nikel RI Diasumsikan hanya untuk 13 Tahun, Pemerintah Perlu Jaga Kestabilan Produksi Nikel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com