Selain itu, tarif yang ada saat ini tentunya dibuat pada tahun 2019 dengan asumsi-asumsi yang ada pada tahun itu. Misalnya, harga avtur dan kurs rupiah terhadap dollar AS.
Maklumlah, hampir semua biaya untuk penerbangan itu dengan dollar AS. Misalnya biaya sewa atau beli pesawat, perawatan, spareparts, harga avtur dan lainnya, semua pakai acuan dollar AS.
Semakin besar kurs dollar AS, semakin besar biayanya. Jika tahun 2019 rata-rata nilai tukarnya Rp 13.900 – Rp 14.000 per 1 dollar AS, sekarang sudah lebih dari Rp 15.500. Padahal tarifnya tidak berubah.
Jadi kalau dihitung dari kenaikan kurs dollar itu, seharusnya nilai tarif pada tahun 2023 ini menjadi lebih kecil atau lebih murah jika dibandingkan pada 2019.
Dalam KM itu sebenarnya dikatakan bahwa tiap bulan tarif ini harus dievaluasi oleh Dirjen Perhubungan Udara. Jadi bisa naik, bisa turun tergantung besaran biaya-biayanya. Namun dari tahun 2019 sampai dengan 2023, tarif tersebut tidak pernah dievaluasi.
Pada formulasi penetapan tarif yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 20 tahun 2019, ditetapkan bahwa TBA untuk pesawat jet besaran biayanya 95 persen dan keuntungan 5 persen pada saat tingkat keterisian pesawat 65 persen.
Jadi kalau pesawat terisi 65 persen penumpang, dan maskapai menjual tarif batas atas (TBA), akan mendapatkan keuntungan 5 persen.
Maskapai bisa dapat keuntungan besar jika pesawatnya terisi lebih dari 65 persen. Tapi tentu saja maskapai tidak bisa menjual semua tiketnya di TBA, pasti juga akan menjual tiket di bawahnya.
Nah di situlah pintar-pintarnya maskapai mengelola pemasaran dan keuangannya agar tidak rugi. Bisa jadi pada saat tertentu menjual tiket murah, pada saat lainnya menjual mahal.
Itu dari sisi formulasi tarif. Sekarang mari kita coba lihat dari sisi maskapai.
Dari sisi akuntansi atau perhitungan perusahaan, tarif bisa dikatakan sebagai harga jual barang.
Secara sederhana, harga jual itu adalah hasil akhir dari perhitungan biaya ditambah keuntungan. Biaya bisa lebih besar dari keuntungan atau lebih kecil, tergantung jenis produk, marketing, dan faktor-faktor lain.
Untuk penerbangan, rata-rata keuntungannya tidak besar. Asosiasi maskapai penerbangan internasional (IATA) menyatakan margin keuntungan maskapai global rata-rata hanya 5-10 persen per tahun. Jadi biayanya lebih besar yaitu 90-95 persen dari harga tiket.
Dengan perhitungan sederhana, jika harga tiket mau lebih murah, tentu biaya-biayanya harus diperkecil.
Di penerbangan, biaya terbesar adalah harga avtur yaitu 30-40 persen dari total biaya operasional, disusul sewa pesawat, perawatan, suku cadang dan lainnya.