SEWAKTU kuliah di Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University) tahun 1977-1981, saya belum pernah mendengar, membaca, apalagi mendalami istilah perdagangan karbon (carbon trade).
Hanya saja dalam mata kuliah Klimatologi pernah diajarkan tentang teori efek rumah kaca (green house efek), yakni bila gas karbon berlebihan akan mengancam lapisan ozon, bahkan dapat melubangi lapisan tersebut. Apabila lubang lapisan ozon terjadi, akibatnya fatal karena akan menaikkan suhu Bumi secara global.
Empat puluh tahun kemudian, yakni tahun 2020, pemanasan global pun terjadi. Lapisan es dikutub utara meleleh akibat kenaikan suhu Bumi sampai dengan 1,5 derajad Celsius.
Negara-negara maju yang sekaligus negara-negara industri maju berteriak agar jumlah emisi karbon yang dihasilkan akibat efek rumah kaca ditekan dan diturunkan. Sumber emisi global yang menghasilakan karbondioksoda (CO2) terbesar adalah kebakaran hutan, penggunaan gas alam, kilang minyak, pembakaran batu bara, dan kendaraan bermotor.
Baca juga: Perdagangan Karbon: Pengertian dan Dampaknya
Bagaimana kaitannya dengan perdagangan karbon? Perdagangan karbon diartikan sebagai skema di mana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon secara alami, seperi negara-negara tropis yang mempunyai hutan alam tropis basah seperti Indonesia dan Brasil.
Negara-negara berkembang yang masih memiliki carbon credit yang banyak dibandingkan dengan negara industri bisa menjual carbon credit-nya kepada negara yang memproduksi emisi. Jadi sebenarnya ini hanyalah jual beli di atas kertas belaka. Ini adalah sistem pay of performance, bukan sistem jual beli di mana ada komitmen uang langsung ada.
Negara yang membeli karbon kredit dari Indonesia akan melihat apakah dalam beberapa tahun yang dikomitmenkan benar-benar dapat menurunkan emisi karbon. Indonesia sendiri sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antar negara.
Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Pandjaitan, terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar sampai 100 miliar dollar AS. Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Sebelum perangkat regulasi perdagangan karbon disiapkan, Indonesia telah mencoba kerja sama dengan pemerintah Norwegia, semacam imbal beli karbon dalam bentuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) pada tahun 2010 selama 10 tahun.
Indonesia dijanjikan imbal beli atau result base payment (RBP) sebesar total satu miliar dollar AS (6 miliar kroner Norwegia/NOK) sebagaimana yang tertulis dalam kerja sama Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara dua negara itu.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.