Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Perkembangan Perdagangan Karbon di Indonesia

Kompas.com - 10/03/2023, 11:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEWAKTU kuliah di Institut Pertanian Bogor (sekarang IPB University) tahun 1977-1981, saya belum pernah mendengar, membaca, apalagi mendalami istilah perdagangan karbon (carbon trade).

Hanya saja dalam mata kuliah Klimatologi pernah diajarkan tentang teori efek rumah kaca (green house efek), yakni bila gas karbon berlebihan akan mengancam lapisan ozon, bahkan dapat melubangi lapisan tersebut. Apabila lubang lapisan ozon terjadi, akibatnya fatal karena akan menaikkan suhu Bumi secara global.

Empat puluh tahun kemudian, yakni tahun 2020, pemanasan global pun terjadi. Lapisan es dikutub utara meleleh akibat kenaikan suhu Bumi sampai dengan 1,5 derajad Celsius.

Negara-negara maju yang sekaligus negara-negara industri maju berteriak agar jumlah emisi karbon yang dihasilkan akibat efek rumah kaca ditekan dan diturunkan. Sumber emisi global yang menghasilakan karbondioksoda (CO2) terbesar adalah kebakaran hutan, penggunaan gas alam, kilang minyak, pembakaran batu bara, dan kendaraan bermotor.

Baca juga: Perdagangan Karbon: Pengertian dan Dampaknya

Bagaimana kaitannya dengan perdagangan karbon? Perdagangan karbon diartikan sebagai skema di mana terjadi aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu melakukan penyerapan emisi karbon secara alami, seperi negara-negara tropis yang mempunyai hutan alam tropis basah seperti Indonesia dan Brasil.

Negara-negara berkembang yang masih memiliki carbon credit yang banyak dibandingkan dengan negara industri bisa menjual carbon credit-nya kepada negara yang memproduksi emisi. Jadi sebenarnya ini hanyalah jual beli di atas kertas belaka. Ini adalah sistem pay of performance, bukan sistem jual beli di mana ada komitmen uang langsung ada.

Negara yang membeli karbon kredit dari Indonesia akan melihat apakah dalam beberapa tahun yang dikomitmenkan benar-benar dapat menurunkan emisi karbon. Indonesia sendiri sudah mulai membidik potensi perdagangan karbon antar negara.

Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut B Pandjaitan, terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar sampai 100 miliar dollar AS. Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.

Sebelum perangkat regulasi perdagangan karbon disiapkan, Indonesia telah mencoba kerja sama dengan pemerintah Norwegia, semacam imbal beli karbon dalam bentuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) pada tahun 2010 selama 10 tahun.

Indonesia dijanjikan imbal beli atau result base payment (RBP) sebesar total satu miliar dollar AS (6 miliar kroner Norwegia/NOK) sebagaimana yang tertulis dalam kerja sama Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) antara dua negara itu.

Dengan berbagai persyaratan yang diminta Norwegia, di antaranya adalah menghentikan sementara penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium) dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai institusi pengelola dana RBP REDD+ di daerah.

Baca juga: RI Dapat Pendanaan Rp 1,52 Triliun Usai Ajukan Proposal REDD+

Semua permintaan tersebut sudah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Namun sampai dengan batas waktu akhir perjanjian tersebut; faktanya Norwegia tidak pernah memenuhi janji untuk membayar dana yang dimaksud. Padahal dana kompensasi tersebut sangat diperlukan untuk mendukung aksi-aksi Indonesia mendorong rehabilitasi hutan dan penanggulangan degradasi dan deforestasi hutan di lapangan.

Karena itu dengan berat hati pada 10 September 2021, Indonesia secara sepihak mengakhiri kerja sama dengan Norwegia tentang perdagangan karbon karena tidak ada kejelasan realisasi pembayaran tahap pertama yang dijanjikan.

Dalam skala kecil dan terbatas pengalaman menarik diperoleh masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.

Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

7 Instrumen Kebijakan Fiskal yang Sering Digunakan di Indonesia

7 Instrumen Kebijakan Fiskal yang Sering Digunakan di Indonesia

Whats New
Kemenhub Tambah 10.000 Kuota Mudik Gratis 2024 Menggunakan Bus

Kemenhub Tambah 10.000 Kuota Mudik Gratis 2024 Menggunakan Bus

Whats New
CKB Logistics Optimalkan Bisnis Melalui Kargo Udara

CKB Logistics Optimalkan Bisnis Melalui Kargo Udara

Whats New
Angkutan Lebaran 2024, Kemenhub Siapkan Sarana dan Prasarana Transportasi Umum

Angkutan Lebaran 2024, Kemenhub Siapkan Sarana dan Prasarana Transportasi Umum

Whats New
Reksadana Saham adalah Apa? Ini Pengertiannya

Reksadana Saham adalah Apa? Ini Pengertiannya

Work Smart
Menhub Imbau Maskapai Tak Jual Tiket Pesawat di Atas Tarif Batas Atas

Menhub Imbau Maskapai Tak Jual Tiket Pesawat di Atas Tarif Batas Atas

Whats New
Anak Usaha Kimia Farma Jadi Distributor Produk Cairan Infus Suryavena

Anak Usaha Kimia Farma Jadi Distributor Produk Cairan Infus Suryavena

Whats New
Cara Cek Formasi CPNS dan PPPK 2024 di SSCASN

Cara Cek Formasi CPNS dan PPPK 2024 di SSCASN

Whats New
Pertamina Patra Niaga Apresiasi Polisi Ungkap Kasus BBM Dicampur Air di SPBU

Pertamina Patra Niaga Apresiasi Polisi Ungkap Kasus BBM Dicampur Air di SPBU

Whats New
HMSP Tambah Kemitraan dengan Pengusaha Daerah di Karanganyar untuk Produksi SKT

HMSP Tambah Kemitraan dengan Pengusaha Daerah di Karanganyar untuk Produksi SKT

Whats New
BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

Work Smart
Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Whats New
Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com