KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Krisis Nurani

Kompas.com - 11/03/2023, 07:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM satu bulan terakhir, kita terganggu oleh video penganiayaan seorang anak di bawah umur yang viral di media sosial. Semua orang menjadi bertanya-tanya, ke mana nurani si penganiaya itu? Kejadian ini pun kemudian dikaitkan dengan kecurigaan masyarakat tentang cara orangtua pelaku memperoleh harta kekayaannya.

Sikap tersebut pada akhirnya menular ke lembaga-lembaga pemerintah. Menteri marah besar karena merasa kecolongan. Apalagi, ketika di kalangan masyarakat muncul ketidakpercayaan atas kinerja lembaga pemungut pajak ini. Alhasil, orangtua pelaku tak luput dari pemeriksaan.

Pernyataan orangtua pelaku kepada wartawan terkait insiden tersebut pun sama sekali tidak mengandung rasa menyesal. Ia malah meminta belas kasihan.

Beberapa waktu kemudian, muncul berita tentang kasus serupa di departemen lain. Seorang aparatur sipil negara (ASN) dan keluarganya memamerkan harta yang tak sebanding dengan penghasilannya. Tak menutup kemungkinan, berita yang trending di media sosial ini masih akan berlanjut.

Pertanyaannya, apakah ini merupakan tontonan yang mengasyikkan? Apakah kita cukup merasa prihatin saja? Apakah gejala ini harus kita anggap lumrah? Apa yang terjadi pada hati nurani oknum tersebut? Mungkinkah kejadian ini terjadi pada kebanyakan pegawai? Bagaimana dengan nurani kita sendiri? Apakah kita sudah menjaganya dengan baik agar tetap peka atau semakin tipis karena sering diabaikan?

Kita semua mempunyai sinyal-sinyal moral yang tumbuh sejak masa kecil. Agama dan nilai-nilai yang diajarkan orangtua dan masyarakat akan memengaruhi sinyal moral kita. Sinyal-sinyal ini menjadi pagar untuk membuat keputusan-keputusan moral ketika muncul dilema yang mengharuskan kita memilih antara baik dan buruk. Inilah yang disebut suara nurani.

Suara nurani

Melemahnya suara hati tidak terjadi dalam waktu semalam. Kesalahan-kesalahan kecil yang dianggap sepele bisa jadi berimbas pada kekuatan hati nurani. Ketika melanggar aturan lalu lintas, misalnya, kita ingin persoalannya diselesaikan tanpa ribet.

Apalagi, ketika kita melihat orang lain juga melakukan hal sama sehingga kita semakin merasa bahwa cara penyelesaian seperti ini adalah lumrah. Apalagi, jika ada pengalaman orang lain yang ingin menyelesaikan masalah dengan cara benar justru semakin dipersulit.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Dilema yang kita hadapi tentunya tidak sekadar hitam-putih. Begitu banyak area abu-abu yang membuat kita sulit mengambil keputusan secara bulat. Langkah mana yang harus dipilih? Risiko apa yang harus ditanggung pada kemudian hari? Terkadang, ada keputusan-keputusan yang akan menghantui sepanjang hidup kita.

Dalam ranah publik, diskusi-diskusi mengenai apa yang benar dan yang salah juga banyak terjadi. Di sinilah kita perlu mempertajam kesadaran nurani kita. Jangan sampai hal yang benar menjadi salah dan hal yang salah bisa jadi benar, tanpa ada niat untuk mengoreksi. Inilah alasan dialog mengenai etika dan moral perlu dilakukan terus-menerus untuk meningkatkan kekuatan dan ketajaman suara hati kita.

Masyarakat kita terdiri atas berbagai latar belakang, nilai, dan kepentingan. Namun, kesadaran tentang apa yang benar dan yang salah ada dalam hati setiap orang dan berlaku universal.

Mengambil sesuatu yang bukan milik kita, menyakiti makhluk lain dengan sengaja, pastinya dianggap perbuatan yang harus dihindari dalam ajaran agama dan suku budaya apa pun.

Sementara, menolong mereka yang kesulitan, berbagi dengan yang membutuhkan adalah sikap yang dinilai baik oleh seluruh manusia.

Mencegah matinya nurani

Sejak kecil, pelajaran moral Pancasila, nilai-nilai luhur dari pendidikan agama, dimaksudkan untuk memupuk dan mengembangkan suara nurani agar menjadi kompas dalam mengambil keputusan-keputusan yang tepat di tengah dilema moral dalam kehidupan kita.

Walaupun semua orang tahu bahwa pengembangan nurani dimulai dari rumah, sebagai pemimpin, kita tidak boleh mengabaikan pengembangan nurani para bawahan. Apakah mereka dapat menjalankan aturan organisasi yang ada? Apakah mereka peduli pada kesulitan orang lain? Apakah mereka resah bila melakukan kesalahan? Apakah mereka memiliki kontrol diri yang kuat?

Kita harus mengingat bahwa nurani adalah fondasi dari karakter. Para pemimpin tetap harus memberi contoh dan praktik mengenai kebajikan, kejujuran, sikap adil, dan bertanggung jawab.

Atasan juga perlu mengamati keraguan bawahan dan berdialog, baik saat menghadapi situasi-situasi dilematis maupun konflik, untuk membantu mereka melakukan interpretasi yang tepat terhadap situasi yang terjadi. Penerapan hukuman secara hitam-putih tanpa dialog akan menghalangi pengembangan nurani bawahan. Suara nurani sangat halus, kita pun harus menanganinya secara hati-hati.

Banyak organisasi memberikan panduan jelas kepada para insan di dalamnya mengenai perilaku-perilaku yang diharapkan untuk muncul dalam kehidupan berorganisasi. Komitmen untuk menjalankan panduan ini tentunya perlu didorong dalam dialog antara atasan dan bawahan sehingga karyawan memahami nilai-nilai luhur di balik panduan tersebut.

Pemahaman itu dapat mendorong mereka menjalankan panduan dengan sepenuh hati. Dengan begitu, mereka menyadari bahwa hal itu tidak sekadar untuk memenuhi tuntutan organisasi, tetapi juga memang baik bagi diri pribadinya.

Suara nurani sebetulnya tidak ada di permukaan kesadaran. Justru, hal yang tampak adalah rasa bersalah, khawatir, atau bahkan kelegaan setelah kita mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang dilematis.

Semakin sering kita mengambil keputusan yang sejalan dengan nurani, semakin kuat suara itu berbicara dalam diri kita. Kita pun akan semakin ringan dalam membuat keputusan yang sejalan dengannya. Semakin sering kita mengabaikannya dan mengambil keputusan yang berlawanan dengannya, semakin melemahlah ia sampai bisa jadi kita tidak lagi menyadari keberadaannya.

Mereka yang menjaga nuraninya tetap sehat dengan mengambil pilihan-pilihan yang sesuai dengan suara hatinya, akan semakin terbebas dari rasa bersalah akibat keputusan yang tidak tepat. Tidur pun menjadi lebih nyenyak penuh damai karena telah menjalani hidup dengan hati yang lega tanpa penyesalan.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com