Misalnya, klaster sawah baku beririgasi teknis berapa luas dan di mana yang mampu panen dua atau tiga kali setahun. Dari klaster ini dapat dibedakan lagi berapa luas dan dimana yang mampu memproduksi di atas 10 ton/ha, 8-10 ton/ha, 6-8 ton/ha, 5,4-6 ton/ha dan seterusnya.
Demikian halnya, dengan lahan sawah nonirigasi namun mengandalkan teknologi pompa air seperti yang terjadi di Kabupaten Ngawi, Jatim yang mampu menghasilkan rata-rata 8 ton per hektar.
Model pengelolaan sawah nonirigasi teknis seperti di Kab. Ngawi boleh jadi juga telah dilaksanakan di daerah lain di Jawa.
Sentra-sentra produksi padi di luar Jawa juga tidak dapat disepelekan potensinya seperti di Provinsi NAD, Sumbar, Sumsel, Lampung, Sulsel, Bali. Dengan inovasi petaninya dan sarana produksi yang memadai juga mampu berprestasi menghasilkan produksi padi yang tak kalah menggembirakan dibandingkan dengan rekannya petani di P. Jawa.
Dengan adanya data klasterisasi produksi padi secara nasional semacam ini, niscaya dapat membantu pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah setempat untuk dapat mengelola dan mengendalikan potensi produksi padi dengan lebih akurat termasuk di dalamnya membantu petani dalam hal distribusi pemberian subsidi pupuk, pemberian KUR, asuransi pertanian, bantuan alsintan dan penyebaran penyuluh lapangan pertanian yang jumlahnya sekarang dirasakan masih kurang.
Dengan dukungan agroklimat yang memadai, Indonesia mampu mempertahankan swasembada pangan sepanjang tata kelola produksi pangan khususnya padi terus ditingkatkan dan disempurnakan baik ditingkat on farm maupun off farm.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.