Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Tempe, Anugerah Tuhan untuk Bangsa Indonesia

Kompas.com - 15/03/2023, 14:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Seperti profil nutrisinya, manfaat kesehatannya, rasanya lebih mudah diterima, dan gampang digunakan dalam beragam produk pangan.

Menilik daya jangkau dan pengaruh tempe yang terus merambah ke seantero dunia, besar kemungkinan setengah abad mendatang, tempe turut ambil bagian dalam penentu revolusi pangan berikutnya. Menyusul dominasi pizza (Italia), ramen dan susyi (Jepang).

Dari era ini saja kita sudah mulai bisa merasakan betapa pentingnya makanan sehat yang ramah lingkungan, dengan harga terjangkau. Mau atau tidak, kita akan pula mencapai urgensi yang belum pernah dirasakan manusia sejak dulu kala.

Cepat ataupun lambat, masyarakat dunia akan tahu betapa berharganya tempe bagi kehidupan mereka. Tempe niscaya akan terus berevolusi, karena ia adalah sebuah proses.

Geliat evolusi itulah yang kelak mengakomodir kebutuhan dunia dan memampukan orang-orang untuk memproduksi makanannya secara alami dengan bahan baku lokal di negara mereka.

Kami membayangkan, lima puluh tahun lagi kalau kita plesir ke berbagai negara, penduduknya akan membuat tempe dengan bahan baku yang tersedia di sana. Seperti masyarakat di Grenada, Kepulauan Karibia, yang sudah bikin tempe dengan kacang hitam.

Benang merahnya adalah, makanan apa pun yang difermentasi maka nilai baiknya meningkat, dan nilai yang tidak diinginkan menurun.

Tempe adalah makanan harapan

Revolusi pangan yang dihela oleh tempe, sejatinya sudah berlangsung di Ambon–pada suatu ketika. Bila tiba musim sulit mencari ikan di laut, para nelayan di sana beralih mengonsumsi tempe yang ternyata mereka buat dari kacang merah.

Di Wonogiri malah ada variasi lain; tempe kacang koro dan tempe kacang mete.

Bukankah dinamika tempe tersebut sudah menjadi jawaban dari isu ketahanan pangan di dunia kita?

Di lingkup Eropa, sudah ada pabrik tempe terbesar di Belanda. Di Amerika Utara, ada di Kanada. Jepang dan China juga telah memulai gerakan ketahanan pangannya melalui tempe, mewakili Asia–bersama Indonesia.

Apabila negara sebesar negeri tirai bambu dengan jumlah penduduk terpadat sedunia sudah merancang gerakan semacam itu, bukan hal mustahil jika suatu saat muncul perusahaan tempe global, yang akan mempromosikan tempe di ajang olimpiade, piala dunia sepakbola, dan pameran busana di Milan atau Paris.

Belajar dari pengalaman yang telah lalu, produk intelektual tempe harus secara tegas diklaim menjadi milik kita, karena memang ditemukan oleh orang Nusantara.

Paling tidak, sejauh ini sudah ada lima paten yang diterbikan di The World Intellectual Property Organization, dengan melindungi gembok paling strategis dalam ranah fermentasi tempe.

Karena mematenkan seluruh jenis produk jadi tidak sangkil dan tidak visibel. Sebabnya adalah inti dari fermentasi tempe itu sendiri, yaitu temperatur pertumbuhan Rhizopus, humiditas-nya, dan makanannya. Aspek pangan itu hanya salah satu potongan puzzle dari tempe.

Kita juga bisa menerokanya dari sudut pandang mental secara filosofis. Pertama, tempe yang kini kadung dikonotasikan dengan kekunoan, rendahan, murahan, orang kurang mampu, makanan cadangan paling akhir, ternyata bila diteliti secara objektif-ilmiah, mengandung khazanah luar biasa.

Ini jelas relevan dengan pola pikir bangsa kita yang cenderung minder. Padahal kenyataannya, di dalam diri Indonesia itu teramat banyak kualitas yang tersembunyi.

Konstruksi sosial kita yang dekat dengan keluarga, adalah obat untuk mencegah rasa kesepian–yang rupanya banyak dialami orang Amerika.

Belum lagi jika kita membahas soal kearifan lokal, gastronomi, biodiversitas, sumber daya manusia, dan semangat kebangsaan yang sudah kita jalin sejauh ini. Tempe, adalah wahana untuk merevolusi mental dan kebangkitan Indonesia.

Jika Amerika Serikat punya Apple yang manufakturnya tersebar di Asia dan Eropa, maka Tempe juga sudah menggeliat dengan takdirnya sendiri yang tak jauh berbeda. Kebetulan dua produk ini sama-sama tersusun dari lima huruf.

Kedua, tempe seperti mengeratkan sesuatu yang semula tidak bersatu menjadi lebih solid. Tak ubahnya lidi yang kemudian menjadi sapu.

Dengan miselium, tempe bisa menyatukan kedelai, kacang ijo, kacang koro, kacang mete, kacang hitam, atau kacang merah.

Risalah ini sebetulnya adalah undangan. Tempe sebagai subjeknya. Di sisi lain, banyak yang seperti tempe di beberapa bidang yang masih harus kita gali.

Kita tetap harus percaya diri dengan identitas bangsa ini, yang sudah diriset dan dikembangkan oleh nenek moyang kita ratusan tahun silam.

Jangan ditinggalkan, ditanggalkan, apalagi sampai terputus. Segera adaptasikan dengan ilmu-pengetahuan dan teknologi kiwari. Maka kita akan menemukan identitas Indonesia yang baru pada masa mendatang.

Momentum seabad Indonesia

Sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita mulai sering mendengar angka 2045 dikeramatkan, karena berkaitan dengan 100 tahun Indonesia sebagai negara-bangsa.

Dalam buku Thinking Fast and Slow karya Daniel Kahneman, penentuan angka momentum sangat penting secara psikologis untuk memotivasi diri.

Mari kita berpikir apa yang akan terjadi di dunia pangan pada 2050.

Secara kalkulasi matematis, itulah masa di mana sepuluh miliar manusia di bumi harus diberi makan. Saat ini dengan potensi krisis iklim, setiap tahun kapasitas produksi pangan kita berkurang 1 persen.

sementara populasi kita bertambah lebih dari 1 persen. Setiap bertambah satu tahun, kita semakin jauh dari kapasitas mampu memberi makan.

Berdasarkan acuan International Panel of Experts on Food, IPES-Food, yang melakukan studi bertajuk Long Food Movement, mereka menganalisis tiga ancaman utama yang akan kita hadapi pada 2045.

Kesatu, Internet of Things akan berubah menjadi Internet of Agricultural Things. Secara teknologi memang patut dibanggakan. Namun dibaliknya ada dinamika kekuatan yang berubah.

Kalau tanpa perlindungan regulasi, maka para raksasa IT dunia akan gampang sekali masuk ke negara-negara dengan pola pikir mengekstrak permintaanya saja.

Ancaman kedua, sekarang kita bicara tentang kualitas udara yang berseliweran di media sosial. Banyak orang mulai sadar betapa berharganya udara bersih di kota yang mereka tinggali.

Kelak, komoditas pangan terutama air, juga seperti ini. Sehingga politisasi, militerisasi, menjadi risiko yang lumayan besar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com