Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Tempe, Anugerah Tuhan untuk Bangsa Indonesia

Kompas.com - 15/03/2023, 14:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUATU sore yang cerah, Raden Mas Subadya menyempatkan diri mengunjungi wilayah Bayat yang menjadi bagian dari Kasunanan Surakarta di bawah pemerintahan ayahnya, Raden Mas Suryadi.

Saat singgah di rumah salah seorang warga, ia disuguhi sambal tumpang atau sambal lethok yang bahan bakunya berasal dari tempe.

Makanan yang kini dianggap sangat sederhana oleh orang Indonesia kebanyakan, ternyata pernah jadi hidangan kehormatan bagi seorang pangeran Jawa.

Kisah perjalanan tersebut, kelak dituliskan oleh putra Raden Mas Subadya, Raden Mas Sugandi dengan nama abhiseka Sri Susuhunan Pakubuwana V (13 Desember 1784 – 5 September 1823) ke dalam Serat Centhini.

Serat ini juga punya nama lain, Suluk Tambangraras-Amongraga, yang menghimpun segala macam ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kondisi masyarakat Jawa pada abad ke-16 M.

Dalam jilid ketiga, kita bisa menemukan kata-kata seperti, brambang jahe santen tempe. Kemudian kadhele tempe srundengan dalam jilid ke dua belas.

”Dhele” dalam bahasa Jawa Kawi artinya hitam. Ini merujuk pada kacang kedelai hitam yang banyak ditanam di wilayah Kerajaan Mataram (Jawa Tengah).

Menunjukkan bahwa tempe dari kedelai hitam sudah hadir, sebelum kedelai kuning dari Manchukuo, China utara, banyak ditanam di Indonesia.

Selain dari catatan di atas, kita tak punya dokumentasi lain terkait tempe. Jika menggunakan nalar sebagaimana lazimnya makanan lain ditemukan, barangkali salah seorang nenek moyang kita sedang iseng ingin membawa bekal kedelai rebus, yang dibungkus pakai daun pisang.

Ternyata bekal yang hendak dibawa itu tertinggal. Setelah kembali dua hari kemudian, bungkusan itu dilihat lagi dan telah berubah bentuk menjadi padat karena terfermentasi (tape).

Makhluk renik sejenis spora di permukaan daun itulah yang menjadi agen perubahan pola makan bangsa kita hingga kini.

Sekarang kita mengenalnya dengan nama Rhizopus. Salah satu jenis ragi (inokulum) yang belakangan banyak dipakai para perajin tempe di Indonesia.

Sejauh ini, asal muasal kata tempe didapat dari keterangan seorang Indonesianis asal Perancis, Prof. Dr. Denys Lombard.

Ia menuliskan perpaduan dua kata, ”tape” yang artinya fermentasi, dan “tempayan”–wadah besar tempat produk fermentasi, yang kelak membentuk satu kata baru, yaitu tempe.

Menurut saintis teknologi pangan, Amadeus Driando Ahnan-Winarno, PhD, tempe adalah makanan nabati satu-satunya yang secara alami mengandung vitamin B12. Satu zat gizi yang penting terhadap perkembangan otak, syaraf, penglihatan, dan sistem fungsi tubuh normal.

Selain B12, juga ada citrobacter, propionibacterium, dan klebsiella. Maafkan saya jika lidah Anda harus keseleo untuk melafalkannya.

Bila diibaratkan, tempe bagaikan bioreaktor mini yang berbentuk makanan dan bisa langsung dimakan.

Bioreaktor mini ini mengubah kedelai bernutrisi yang diubah ke bentuk lebih pipih, jadi mudah diserap tubuh, mudah diamplifikasi, sehingga menjadi makanan super. Padahal, asalnya ya dari kedelai.

Tempe juga bisa menjadi peternakan masa depan yang uniknya tidak butuh binatang. Jauh lebih cepat. Dua hari jadi, dan sangat sangkil.

Karena kalau kita bandingkan kesangkilannya dengan daging sapi, tempe konvensional kedelai itu proteinnya setara, energinya setara, zat besinya setara, serat-kalsiumnya jauh lebih tinggi, lemak jenuh dan kandungan garamnya pun jauh lebih rendah.

Ini baru nilai gizi dari sisi ramah lingkungan, untuk mencapai protein yang sama. Dari sisi produksi, tempe empat kali lipat lebih hemat energi. Dua belas kali lipat lebih hemat dalam produksi gas efek rumah kaca.

Selain harganya sangat terjangkau, penggunaan lahannya juga jauh lebih kecil. Sebagai pembanding, makanan olahan daging sapi termasuk salah satu yang paling tidak berkelanjutan. Karena untuk satu buah burger, misalnya, butuh 1000 galon air, dan lain-lain.

Secara alami, ada pula komponen yang apabila dimakan terlalu banyak, dapat menimbulkan inflamasi–akar dari berbagai penyakit kronis seperti Alzheimer, diabetes, obesitas, kanker, dan sebagainya.

Sementara untuk menghasilkan tempe, sebaliknya. Kita bisa memenuhi kebutuhan gizi tapi tanpa merusak tubuh dan tanpa merusak bumi.

Menariknya, dibandingkan negara di Eropa dan negara maju lain, konsumsi gizi orang Indonesia itu pas, yaitu berkisar 63 gram per orang per tahun.

Konsumsi tempe itu 10 persen, lebih tinggi dari daging sapi yang 3,81 persen. Lebih tinggi dari telur yang 1,0 persen, dan lebih tinggi dari tahu yang 8 persen.

Di titik inilah Indonesia punya posisi strategis untuk menjadi teladan bagi negara manca. Kita belum melewati ambang itu, karena konsumsi tempenya rata-rata per kapita tujuh kilogram per kapita per tahun.

Kalau kita makan 2-3 tempe per hari, maka asupan proteinnya bisa mencapai 20-an gram.

Tempe itu sangat eksotis. Kita beri saja yang kita mau, dia bekerja sendiri merajut teksturnya, yang semula nggak ada miselium yang putihnya itu, dia berubah jadi tekstur sendiri. Di situlah pesonanya.

Sebagai inovasi, tempe juga bisa juga kita jodohkan dengan jamur oncom. Warna oncom yang perpaduan merah jambu dan oranye, setelah dimasak, warnanya persis daging giling.

Jadi tinggal bagaimana kita bermain puzzle, kekayaan kearifan lokal dilihat dengan lensa teknologi untuk menciptakan produk yang relevan.

Saat ini, impor kedelai Indonesia di atas tiga juta metrik ton per tahun. Ada pun produksi nasional masih sedikit di atas satu juta metrik ton.

Dengan kata lain, konsumsinya saja empat jutaan per tahun. Jikalau Pemerintah bisa menaikkan angka itu, maka konsumsi protein kita pun naik dari 63 ke 100 gram per orang per tahun. Meski untuk memenuhi kebutuhan tersebut, jelas tak bisa dilakukan dalam sekejap.

Pada usianya yang sudah melewati empat abad, tempe bukan lagi sekadar makanan yang terbuat dari kedelai, tapi tempe adalah sebuah proses.

Diversifikasi bahan baku ini juga bisa dilakukan dengan narasi bahwa, setelah dilakukan fermentasi tempe teknologi Indonesia ini, apa pun komoditas yang dihasilkannya akan jadi lebih baik.

Seperti profil nutrisinya, manfaat kesehatannya, rasanya lebih mudah diterima, dan gampang digunakan dalam beragam produk pangan.

Menilik daya jangkau dan pengaruh tempe yang terus merambah ke seantero dunia, besar kemungkinan setengah abad mendatang, tempe turut ambil bagian dalam penentu revolusi pangan berikutnya. Menyusul dominasi pizza (Italia), ramen dan susyi (Jepang).

Dari era ini saja kita sudah mulai bisa merasakan betapa pentingnya makanan sehat yang ramah lingkungan, dengan harga terjangkau. Mau atau tidak, kita akan pula mencapai urgensi yang belum pernah dirasakan manusia sejak dulu kala.

Cepat ataupun lambat, masyarakat dunia akan tahu betapa berharganya tempe bagi kehidupan mereka. Tempe niscaya akan terus berevolusi, karena ia adalah sebuah proses.

Geliat evolusi itulah yang kelak mengakomodir kebutuhan dunia dan memampukan orang-orang untuk memproduksi makanannya secara alami dengan bahan baku lokal di negara mereka.

Kami membayangkan, lima puluh tahun lagi kalau kita plesir ke berbagai negara, penduduknya akan membuat tempe dengan bahan baku yang tersedia di sana. Seperti masyarakat di Grenada, Kepulauan Karibia, yang sudah bikin tempe dengan kacang hitam.

Benang merahnya adalah, makanan apa pun yang difermentasi maka nilai baiknya meningkat, dan nilai yang tidak diinginkan menurun.

Tempe adalah makanan harapan

Revolusi pangan yang dihela oleh tempe, sejatinya sudah berlangsung di Ambon–pada suatu ketika. Bila tiba musim sulit mencari ikan di laut, para nelayan di sana beralih mengonsumsi tempe yang ternyata mereka buat dari kacang merah.

Di Wonogiri malah ada variasi lain; tempe kacang koro dan tempe kacang mete.

Bukankah dinamika tempe tersebut sudah menjadi jawaban dari isu ketahanan pangan di dunia kita?

Di lingkup Eropa, sudah ada pabrik tempe terbesar di Belanda. Di Amerika Utara, ada di Kanada. Jepang dan China juga telah memulai gerakan ketahanan pangannya melalui tempe, mewakili Asia–bersama Indonesia.

Apabila negara sebesar negeri tirai bambu dengan jumlah penduduk terpadat sedunia sudah merancang gerakan semacam itu, bukan hal mustahil jika suatu saat muncul perusahaan tempe global, yang akan mempromosikan tempe di ajang olimpiade, piala dunia sepakbola, dan pameran busana di Milan atau Paris.

Belajar dari pengalaman yang telah lalu, produk intelektual tempe harus secara tegas diklaim menjadi milik kita, karena memang ditemukan oleh orang Nusantara.

Paling tidak, sejauh ini sudah ada lima paten yang diterbikan di The World Intellectual Property Organization, dengan melindungi gembok paling strategis dalam ranah fermentasi tempe.

Karena mematenkan seluruh jenis produk jadi tidak sangkil dan tidak visibel. Sebabnya adalah inti dari fermentasi tempe itu sendiri, yaitu temperatur pertumbuhan Rhizopus, humiditas-nya, dan makanannya. Aspek pangan itu hanya salah satu potongan puzzle dari tempe.

Kita juga bisa menerokanya dari sudut pandang mental secara filosofis. Pertama, tempe yang kini kadung dikonotasikan dengan kekunoan, rendahan, murahan, orang kurang mampu, makanan cadangan paling akhir, ternyata bila diteliti secara objektif-ilmiah, mengandung khazanah luar biasa.

Ini jelas relevan dengan pola pikir bangsa kita yang cenderung minder. Padahal kenyataannya, di dalam diri Indonesia itu teramat banyak kualitas yang tersembunyi.

Konstruksi sosial kita yang dekat dengan keluarga, adalah obat untuk mencegah rasa kesepian–yang rupanya banyak dialami orang Amerika.

Belum lagi jika kita membahas soal kearifan lokal, gastronomi, biodiversitas, sumber daya manusia, dan semangat kebangsaan yang sudah kita jalin sejauh ini. Tempe, adalah wahana untuk merevolusi mental dan kebangkitan Indonesia.

Jika Amerika Serikat punya Apple yang manufakturnya tersebar di Asia dan Eropa, maka Tempe juga sudah menggeliat dengan takdirnya sendiri yang tak jauh berbeda. Kebetulan dua produk ini sama-sama tersusun dari lima huruf.

Kedua, tempe seperti mengeratkan sesuatu yang semula tidak bersatu menjadi lebih solid. Tak ubahnya lidi yang kemudian menjadi sapu.

Dengan miselium, tempe bisa menyatukan kedelai, kacang ijo, kacang koro, kacang mete, kacang hitam, atau kacang merah.

Risalah ini sebetulnya adalah undangan. Tempe sebagai subjeknya. Di sisi lain, banyak yang seperti tempe di beberapa bidang yang masih harus kita gali.

Kita tetap harus percaya diri dengan identitas bangsa ini, yang sudah diriset dan dikembangkan oleh nenek moyang kita ratusan tahun silam.

Jangan ditinggalkan, ditanggalkan, apalagi sampai terputus. Segera adaptasikan dengan ilmu-pengetahuan dan teknologi kiwari. Maka kita akan menemukan identitas Indonesia yang baru pada masa mendatang.

Momentum seabad Indonesia

Sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita mulai sering mendengar angka 2045 dikeramatkan, karena berkaitan dengan 100 tahun Indonesia sebagai negara-bangsa.

Dalam buku Thinking Fast and Slow karya Daniel Kahneman, penentuan angka momentum sangat penting secara psikologis untuk memotivasi diri.

Mari kita berpikir apa yang akan terjadi di dunia pangan pada 2050.

Secara kalkulasi matematis, itulah masa di mana sepuluh miliar manusia di bumi harus diberi makan. Saat ini dengan potensi krisis iklim, setiap tahun kapasitas produksi pangan kita berkurang 1 persen.

sementara populasi kita bertambah lebih dari 1 persen. Setiap bertambah satu tahun, kita semakin jauh dari kapasitas mampu memberi makan.

Berdasarkan acuan International Panel of Experts on Food, IPES-Food, yang melakukan studi bertajuk Long Food Movement, mereka menganalisis tiga ancaman utama yang akan kita hadapi pada 2045.

Kesatu, Internet of Things akan berubah menjadi Internet of Agricultural Things. Secara teknologi memang patut dibanggakan. Namun dibaliknya ada dinamika kekuatan yang berubah.

Kalau tanpa perlindungan regulasi, maka para raksasa IT dunia akan gampang sekali masuk ke negara-negara dengan pola pikir mengekstrak permintaanya saja.

Ancaman kedua, sekarang kita bicara tentang kualitas udara yang berseliweran di media sosial. Banyak orang mulai sadar betapa berharganya udara bersih di kota yang mereka tinggali.

Kelak, komoditas pangan terutama air, juga seperti ini. Sehingga politisasi, militerisasi, menjadi risiko yang lumayan besar.

Ketiga, algoritma untuk antarmuka belanja makanan kita sudah sangat canggih. Bisa jadi sistem pangan kita menjadi semakin buram alih-alih transparan.

Ketiga hal inilah yang harus dipikirkan bagaimana cara melaluinya. Namun dengan tiga tantangan itu, ada belasan kesempatan yang bisa kita berdayakan menjadi dua hilir saja; perlindungan dan inovasi.

Perlindungan misalnya, secara kebijakan mestinya melindungi hak masyarakat komunitas lokal, kemudian sistem pajak yang adil, asuransi bagi pelaku di komponen rantai pasok pangan.

Dengan perlindungan yang kuat, inovasi menjadi keniscayaan yang tak terbantahkan dan paling strategis. Perlindungan dibutuhkan untuk bertahan, sementara inovasi untuk bertumbuhkembang.

Berikutnya, mari kita gabungkan tiga ancaman tersebut dengan hasil riset World Resources Institute, yang merangkum titik-titik paling strategis untuk mengatasinya dan menyambut kesempatan yang tersedia.

Makanan yang sudah ada, dipakai dulu, dengan mengurangi sampahnya. Contoh, tempe gembus dibuat dari daur ulang sampah makanan ampas tahu.

Kalau kita bicara susu, sekarang ada susu oat, susu kedelai, susu almond. Semua punya ampas, semua diperas, dan itu semua bisa dijadikan tempe, lalu dikembalikan sebagai sumber protein bagi tubuh.

Pola makan paling sehat adalah, makan lebih banyak makanan nabati, sayur, buah, diiringi olahraga 30 menit per hari, istirahat yang cukup, kehidupan sosial yang sehat. Indonesia punya kunci perubahan pola diet ini, dan tempe adalah komponen pentingnya.

Jadi, menghadapi 2045 untuk pemerataan pangan yang didukung oleh Long Food Movement ini, Indonesia memiliki peluang intrinsik yang tidak harus mengambil tenaga alih daya dari luar.

Teknologinya sudah ada di sini. Tinggal kita melindungi produk intelektual secara teknologi, hukum, dan reputasi–yaitu dengan mencanangkan tempe sebagai UNESCO Intangible Cultural Heritage.

Tak syak lagi, para pengusaha tempe harus membuat produknya sekeren mungkin. Karena kalau tidak keren takkan dilirik konsumen.

Di titik ini, definisi keren menjadi penting, yaitu menghasilkan suatu karya. Produktivitas dalam arti karya bukan hanya sibuk belaka, namun upaya melahirkan karya.

Sejauh ini, produktivitas bangsa Indonesia cuma 24.000 dolaar AS per orang per tahun. Singapura, 170.000 dollar AS per orang per tahun. Lantas bagaimana caranya menaikkan angka 24.000 dollar AS hingga ke 170.000 dollar AS?

Tak lain dan tak bukan, dengan makan tempe, supaya protein kita meningkat, kecerdasan kita melonjak, agar kapasitas kita untuk berpikir untuk mencabangkan muara ini menjadi hilir yang multidimensional.

Merujuk data Bappenas, target GDP pada 2045 itu harus meningkat empat kali lipat dari sekarang. Pada saat itu, yang akan menjadi tenaga kerja paling produktif, adalah generasi yang sekarang baru dilahirkan.

Karena itu pula lah, penting sekali menjaga generasi berikutnya agar mereka tidak gagal tumbuh secara kognitif. Padahal statistik saat ini menunjukkan, sekitar 38 persen anak-anak di Indonesia termasuk golongan gagal tumbuh.

Dengan populasi Indonesia yang sekitar 270 juta jiwa, maka jumlah anak-anak Indonesia kurang lebih sepertiganya.

Sepertiga dari sepertiga ini, gagal tumbuh. Setara dengan warga Jakarta, yang bila hendak dibayangkan, gagal tumbuh semua. Ini jelas kecelakaan peradaban!

Efek domino dari generasi lalu sudah dirasakan oleh generasi sekarang. Sekitar 54 persen tenaga kerja yang sedang bekerja saat ini, termasuk yang gagal tumbuh itu.

Sayangnya dan juga beruntungnya, ada peluang pada seribu hari pertama kehidupan. Potensi kecerdasan kita sampai tua, ditentukan dari seribu hari pertama kehidupan yang dilakukan dengan benar atau tidak.

Ketika ibu hamil, perlakuannya benar atau tidak. Ketika menyusui, benar-benar disusui atau tidak. Lalu MPASI-nya seperti apa.

Lagi-lagi, tempe berpeluang menjadi makanan yang terjangkau untuk mencapai potensi kesehatan dan kecerdasan bangsa ini dengan cara yang ramah lingkungan.

Berbanding terbalik dengan apa yang pernah disampaikan Sang Proklamator kita dalam pidatonya yang gegap gempita:

"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."

Demikian pidato Presiden Soekarno yang menegaskan bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang lembek seperti tempe.

Pada masa revolusi, kata 'tempe' memang kerap diidentikkan dengan cengeng, mudah menyerah, atau lembek. Maka sindiran seperti 'mental tempe', 'pasukan tempe,' atau 'pemuda kelas tempe,' lazim dipakai untuk meledek mereka yang dianggap lemah.

Bung Karno mungkin khilaf, kendati murah dan dipandang sebelah mata, tempe pula yang menyelamatkan jutaan rakyat Indonesia dari penyakit kurang gizi dan busung lapar selama rentang 1945 hingga akhir 1960an.

Kalau tidak ada tempe, saat ekonomi Indonesia benar-benar terpuruk, entah berapa juta anak yang terlahir kurang gizi.

Sebelumnya, tempe juga turut berperan menyelamatkan tahanan Perang Dunia II yang ditawan Jepang.

Lucunya, walaupun terkesan menghina, Presiden Sukarno nyatanya sangat menggemari tempe. Ada dua makanan yang tak pernah absen dari meja makan Istana pada masa itu: gulai daun singkong dan tempe goreng. Itulah dua jenis makanan yang paling digemari Bung Karno.

Namun karena terlampau sederhana, beliau tak pernah menawarkan makanan ini pada tamu kenegaraan.

Putra Sang Fajar mungkin belum sempat mengetahui, bahwa tempe melewati proses fermentasi secara poly-microbial bioconversion.

Berjalan dengan bantuan berbagai spesies kapang Rhizopus, sejumlah bakteri, serta khamir. Mereka bekerjasama bahu-membahu selama 40 jam yang krusial demi mengubah kedelai rebus hingga menjadi tempe.

Inilah bukti semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah mengejawantah sejak dari alam mikroba.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun, Bulog Tunggu Arahan Pemerintah

Whats New
BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Rilis
INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

Whats New
Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com