Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Danur Lambang Pristiandaru
Wartawan

Content Writer Lestari Kompas.com
Alumnus Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan

Subsidi Kendaraan Listrik dan Energi Baru Terbarukan

Kompas.com - 17/03/2023, 11:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH memastikan memberi subsidi sebesar Rp 7 juta per unit untuk pembelian motor listrik mulai 20 Maret. Rencananya, ada 200.000 unit motor listrik baru yang mendapatkan subsidi.

Selain itu, pemerintah juga akan menyubsidi 50.000 motor konversi listrik. Besaran subsidi juga sama, Rp 7 juta.

Meski periode pembelian motor listrik bersubsidi belum dimulai, pemerintah sedang menggodok insentif pembelian mobil listrik.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pada Rabu (15/3/2023), besaran insentif untuk mobil listrik akan disampaikan. Namun, dia belum membocorkannya.

Sebelum Indonesia, beberapa negara sudah memberikan subsidi untuk menggenjot penjualan kendaraan listrik berbasis baterai dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV).

Subsidi dan insentif untuk kendaraan listrik penting untuk merangsang elektrifikasi transportasi guna menekan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor ini.

Para peneliti dari University of California (UC) Davis merilis kajiannya dalam pengamatan 15 negara yang memberikan insentif untuk kendaraan listrik berbasis baterai dan PHEV. Insentif tersebut bisa berupa subsidi langsung, keringanan pajak, rabat, dan lain-lain.

Berdasarkan pengamatan para peneliti UC Davis, insentif secara eksponensial merangsang penjualan kendaraan listrik di 15 negara tersebut.

Bahkan di Belgia yang sudah tidak memberikan insentif sejak 2020, permintaan kendaraan listrik tetap tumbuh.

Sementara itu, International Energi Agency (IEA) juga melaporkan bahwa selama pandemi, subsidi merupakan instrumen yang penting dalam menggenjot penjualan kendaraan listrik di berbagai negara.

Saya pribadi berharap subsidi motor dan mobil listrik di Indonesia akan terus dilanjutkan. Pasalnya, berdasarkan laporan dari UC Davus dan IEA, subsidi kendaraan listrik terbukti menggenjot elektrifikasi transportasi.

Tentu perlu ada persyaratan siapa saja yang boleh mendapatkan subsidi dan batasan-batasan yang masih bisa dibahas lebih dalam.

Di sisi lain, elektrifikasi transportasi bisa membuat Indonesia lepas dari ketergantungan bahan bakar minyak (BBM) di masa depan.

Dalam Outlook Energi Indonesia 2022 yang dirilis Dewan Energi Nasional (DEN), ketergantungan Indonesia akan minyak bumi masih sangat tinggi.

Pada 2021, Indonesia mengimpor minyak 104 juta barel pada 2021. Jumlah ini meningkat bila dibandingkan 2012, yakni 96 juta barel.

BBM menjadi sumber energi yang paling besar pada 2021, yaitu sekitar 52,1 persen. Sedangkan konsumsi listrik hanya 18,2 persen.

Bila elektrifikasi transportasi sukses, porsi konsumsi energi BBM bisa berpindah ke listrik.

Belum lagi harga minyak dunia yang naik turun dan sempat mencapai rekor tertinggi saat Rusia menginvasi Ukraina. Kondisi tersebut tentu akan memengaruhi APBN.

Ramah lingkungan?

Kendaraan listrik mengonsumsi energi dari pembangkit. Bila pembangkit listriknya masih didominasi energi fosil, bisa diartikan emisinya hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dengan kata lain, kendaraan listrik masih menghasilkan emisi melalui carbon foootprint alias jejak karbon yang dihasilkan dari energi hulunya.

Di Indonesia, mayoritas pembangkit listriknya masih didominasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dari PLN, PLTU batu bara merupakan kontributor terbesar dari bauran pembangkit listrik nasional, yakni 66,3 persen hingga Desember 2020.

Sementara itu pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) sebesar 16,8 persen, pembangkit listrik tenaga BBM 2, 54 persen, dan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) 13,43 persen.

Besarnya porsi PLTU batu bara dalam bauran energi nasional liniear dengan emisi GRK berdasarkan Outlook Energi Indonesia 2022.

Pada 2021, emisi GRK di Indonesia mencapai 607 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Rinciannya adalah sektor pembangkit listrik berkontribusi sekitar 49,8 persen, sektor transportasi 23,7 persen, dan industri sebesar 16,1 persen.

Jika elektrifikasi bisa berjalan mulus dan tumbuh secara signifikan, emisi dari sektor transportasi bisa dikurangi secara drastis. Dan peningkatan kendaraan listrik sudah pasti mendorong konsumsi listrik.

Yang menjadi catatan adalah jangan sampai pengurangan emisi dari sektor transportasi ini hanya berpindah ke sektor pembangkit listrik. Oleh karenanya, elektrifikasi transportasi juga perlu dibarengi dengan meningkatnya EBT.

Target EBT

Melalui Perpres Nomor 22 Tahun 2017 mengenai Rencana Umum energi Nasional (RUEN), pemerintah sebenarnya menargetkan kontribusi EBT dalam bauran energi primer dapat mencapai 23 persen alias sebesar 45,1 gigawatt (GW) pada 2025 dan meningkat lagi menjadi 31 persen atau 167,6 GW pada 2050.

Dari RUEN ini, dijabarkan lagi target pembangunan insfrastruktur ketenagalistrikan, yakni 135,5 GW pada 2025 yang terdiri atas 90,4 GW dari enegri fosil dan 45,1 GW dari EBT.

Sedangkan pada 2050 targetnya 275,4 GW energi fosil dan 167,6 GW EBT.

Menurut RUPTL 2021-2030, PLN memproyeksikan akan ada tambahan pembangkit dari EBT yang terakumulasi sebesar 10,6 GW hingga 2025 dan 18,8 GW hingga 2029.

Institute for Essential Services Reform (IESR) merilis studi yang komprehensif mengenai berapa persen emisi GRK yang bisa dipangkas melalui elektrifikasi transportasi.

Dalam laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023, jika pengembangan EBT hanya mengacu pada RUPTL PLN 2021-2030, maka penurunan emisi dari motor listrik dan mobil listrik diproyeksikan tidak signifikan, hanya berkisar 6 persen dan 8 persen saja pada 2030.

Elektrifikasi transportasi dengan menggenjot kehadiran kendaraan listrik melalui berbagai insentif memang sangat diperlukan.

Langkah tersebut juga perlu dibarengi dengan ambisi serta realisasi EBT yang masif agar seiring sejalan memangkas emisi GRK.

Apalagi, Indonesia mendapatkan pendanaan transisi energi jumbo melalui Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP) dengan target nilai investasi 20 miliar dollar AS atau setara sekitar Rp 300 triliun. Pendanaan ini bisa sangat membantu mendorong pengembangan EBT.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com