Meski pemerintah telah membangun pabrik baru di pabrik pupuk PT Iskandar Muda, Aceh, tetapi tabahan produksinya relatif terbatas yakni sebesar 570.000 ton per tahun.
Pemerintah memang telah mempunyai pabrik-pabrik pupuk yang cukup representatif. Di Sumatera diwakili PT Iskandar Muda di Aceh dan PT Sriwijaya di Sumatera Selatan. Di Jawa diwakili PT Kujang di Cikampek di Jawa Barat dan PT Petrokimia Gresik di Jawa Timur. Di Kalimantan diwakili PT PKT di Kalimantan Timur.
Produksi pupuk PT Petrokimia Gresik sebesar lima juta ton per tahun, PT Kujang sebesar 1,360 juta ton per tahun, PT Iskandar Muda 3,7 juta ton per tahun, PT Sriwijaya 2,337 ton per tahun, PT PKT Kaltim 3,73 ton per tahun. Produksi masing-masing pabrik pupuk tersebut meliputi jenis urea untuk pertumbuhan tanaman padi dan NPK yang sangat dibutuhkan dalam peningkatan produksi bulir padi.
Untuk wilayah Sulawesi, di mana terdapat sentra produksi padi seperti Sulawesi Selatan, seharusnya ada pabrik pupuk minimal satu buah. Demikian juga wilayah Bali, NTB, dan NTT di mana sentra produksi padi terdapat di Bali dan NTB, mestinya juga harus ada minimal satu pabrik pupuk yang berdiri di daerah tersebut.
Sayangnya keberadaan dan aktivitas produksi pabrik-pabrik pupuk tersebut banyak menemui kendala. Produksi pupuk yang dihasilkan pabrik-pabrik tersebut, di samping tergantung bahan baku posphat dan amoniak sebagai bahan dasar, juga tergantung dari ketersediaan gas alam.
Beberapa tahun silam, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) berhenti berproduksi beberapa bulan lantaran tidak ada suplai gas alam dari Pertamina maupun perusahaan gas alamlainnya. Hal itu membuktikan, ketersediaan dan kontinuitas gas alam menjadi penting dalam produksi pupuk di Indonesia.
Gas alam merupakan bahan baku dan sumber energi dalam produksi amonia dan urea, (bahan dasar pupuk N). Gas alam berkontribusi 70-80 persen dari biaya total produksi amonia/urea. Kondisi ini diperparah dengan melambungnya harga batubara sebagai sumber energi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ada dua ciri-ciri negara agraris. Pertama, negara yang perekonomiannya bergantung pada sektor pertanian. Kedua, negara yang penduduknya mayoritas bermata pencarian di sektor pertanian.
Pada masa Orde Baru, Indonesia memiliki kedua ciri tersebut. Seiring berjalan waktu, BPS tahun 2018 memaparkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi Indonesia adalah sektor industri, bukan pertanian.
Sektor industri memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi 19,66 persen. Sektor pertanian justru berada pada posisi runner up dengan andil 13,53 persen. Dengan begitu, Indonesia sudah tidak pas lagi disebut negara agraris.
Sektor yang memegang sumbangsih pertumbuhan ekonomi terbesar negara ini telah tergantikan dengan sektor industri. Sektor pertanian hanya mengambil andil pada urutan ke-2. Bahkan, semakin berkurangnya lahan pertanian akan lebih menurunkan share pertumbuhan ekonomi di Indonesia di masa mendatang, sehingga sektor potensial lain seperti perdagangan akan segera mengunggulinya.
Namun, apabila diartikan secara eksplisit bahwa negara agraris berarti negara yang penduduknya mayoritas bermata pencarian di sektor pertanian, Indonesia masih relevan disebut sebagai negara agraris.
Sektor pertanian merupakan sektor padat karya yang efektif menurunkan jumlah penganggur. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2018, sekitar 28,79 persen penduduk Indonesia bekerja pada sektor pertanian sebagai pekerjaan utama. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, disusul sektor perdagangan (18,61 persen), dan sektor industri (14,72 persen).
Meskipun lahan pertanian yang dapat diolah seluas 55 juta hektare, namun luas lahan baku sawah hanya 7,46 juta hektare pada 2019.
Baca juga: Kapasitas Pabrik Pupuk Indonesia 13,9 Juta Ton, Stok Pupuk Subsidi Diklaim Aman
Dwi Andreas Santosa, guru besar Fakultas Pertanian IPB menyebutkan, meski ada program perluasan sawah dan food estate, luas lahan baku sawah semakin menyusut. Pada 2013 luas lahan baku sawah 8,13 juta hektare, empat tahun kemudian menjadi 7,75 juta hektare.