Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Siaga di Tengah Risiko "Tech Winter"

Kompas.com - 26/03/2023, 08:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Koreksi terhadap indeks komposit global dipicu oleh tekanan di ceruk emiten-emiten fintech.

Kendati pun demikian, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih dalam posisi risk on dengan naik tajam 1,06 persen atau setara 70,64 poin ke level 6.762,25 pada penutupan bursa Jumat, 24 Maret 2023.

Lain hal dengan pasar SBN. Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, pasar obligasi RI masih inflow.

Permintaan terhadap imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang rendah 6,7 persen dari sebelumnya mencapai 7 persen, menggambarkan bahwa spillover dari kondisi perbankan di AS masih moderat.

Setidaknya hal ini dipengaruhi oleh strategi mitigasi jangka pendek yang dilakukan FDIC-AS terhadap SVB dan SB dengan menjamin nasabah di kedua bank tersebut.

Krisis SVB dan SB juga menjadi alarm dini bagi The Fed agar lebih akomodatif dalam dalam policy rate-nya. Kondisi demikian dibaca pelaku pasar sebagai melandainya arah kebijakan suku bunga The Fed; sehingga arus modal inflow ke pasar domestik RI membuat pasar SBN masih cerah.

Kesiagaan

Karena goncangan terhadap ekonomi disebabkan oleh sektor perbankan, maka sejatinya, bank domestik harus menjaga rasio likuiditas 100 persen atau di atas 100 persen sesuai aturan OJK.

Strategi pencadangan melalui GWM (statutory reserve) yang diregulasi bank sentral harus berbasis risiko aktual atau jangka pendek.

Runtuhnya SVB merupakan peringatan bagi bank untuk meningkatkan pemodelan neraca dan memiliki program manajemen risiko yang kuat.

Menurut Boston Consulting Group (BCG) dalam laporannya, perusahaan konsultan global ini mengatakan kejatuhan SVB menyadarkan dunia perbankan pada empat kelemahan dalam pendekatan manajemen risiko bank.

Pertama: Stress Testing Across Risk Silos. Bank perlu melakukan stress test di semua jenis risiko.

Sebagaimana idealnya sistem perbankan, SVB mungkin lalai dalam melakukan stress testing risiko suku bunga, kredit, pasar, dan likuiditas. SVB ditengarai gagal memahami dampak limpahan di berbagai jenis risiko.

BCG juga merekomendasikan stress testing terbalik, dengan mempertimbangkan stress test terkait apa yang diperlukan untuk 'menghancurkan bank'. Metode stress test mendorong bank memiliki pemahaman lebih detail tentang korelasi berbagai jenis risiko.

Kedua; Liquidity ≠ Cash. Likuiditas tak dipahami sebagai uang tunai. BCG mengatakan SVB memiliki banyak aset likuid berkualitas tinggi, tetapi kekurangannya adalah kemampuan untuk mengubah likuiditas menjadi uang tunai untuk memenuhi kewajiban pembayaran dalam periode tekanan pasar tanpa harus melakukan penjualan aset secara mendadak dan pengakuan segera berikutnya atas aset besar.

BCG merekomendasikan, agar industri perbankan perlu menguji asumsi monetisasi aset mereka stress testing likuiditas. Cara ini diperlukan untuk mengukur kemampuan untuk mengubah buffer High Quality Liquidity Assets (HQLA) menjadi uang tunai dan dampak yang lebih luas dari melakukannya dan rencana likuiditas darurat mereka.

Ketiga, Concentration Risk In Deposits Should Be Better Understood. Estimasi yang terlalu rendah dari kecepatan penurunan simpanan merupakan kontributor utama SVB yang kurang siap.

Basis simpanan SVB terkonsentrasi di sektor tertentu di mana saldo akun menurun dengan cepat.

Sebuah 'run on the bank' berubah menjadi “sprint on the bank” karena keterkaitan basis klien, tindakan para pemberi pengaruh utama, dan kecepatan tindakan dalam ekosistem digital (perbankan digital dan saluran komunikasi).

Kurangnya pemahaman tentang risiko konsentrasi di dalam basis simpanan mereka menyebabkan keterkejutan pada skala dan kecepatan kebutuhan likuiditas.

Keempat, A Crisis Playbook Fit For The Social Media Age. SVB mewakili kegagalan bank besar pertama di era media sosial. Fakta bahwa FDIC mengambil alih SVB di tengah hari pada Jumat daripada menunggu COB (Coordination of Benefit) menunjukkan betapa cepatnya situasi berubah.

Kecepatan dan respons kolektif deposan dikarenakan media sosial, komunikasi digital, dan perbankan digital. Hal ini membuat kecepatan krisis menyerupai pelanggaran dunia maya besar-besaran daripada bank yang dijalankan beberapa dekade yang lalu.

SVB tampaknya tidak siap untuk menanggapi peristiwa semacam itu secara terkoordinasi. Baik secara internal maupun dalam komunikasi dengan investor dan deposan mereka.

Kebangkrutan yang dialami SVB, menjadi alarm kencang bagi bagi startup Indonesia. Bahwa perusahaan perlu mendiversifikasi asetnya, dan menempatkan dananya hanya pada satu bank. Sebagaimana adagium “Don’t put your eggs in one bucket.”

Memang yang dialami SVB adalah akibat gejolak ekonomi makro global. Namun startup yang hanya fokus pada ekspansi, produk dan marketing tanpa memahami finansial perusahaan dan dinamika di sekitar bisa berisiko, seperti yang dialami startup AS di SVB.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com