Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Heboh Rp 300 Triliun dan Rp 20 Juta

Kompas.com - 27/03/2023, 06:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERITA dugaan pencucian uang pejabat Kementerian Keuangan sebesar Rp 300 triliun (kemudian dimutakhirkan dengan Rp 349 triliun) dan gaji tidak bekerja setara Rp 20 juta per penduduk jika tidak ada korupsi pertambangan, sudah menjadi pembicaraan tingkatan warung kopi di mana-mana.

Kita yang peduli pasti terusik. Ada yang kagum, ada yang tidak percaya, ada yang marah, ada yang cuek, ada yang menyangkal, dan ada yang penasaran.

Sebagai ekonom yang merasakan keingintahuan tentu berujung dengan rasa penasaran. Maka saya membuat tulisan ini dengan judul “Heboh Rp 300 triliun dan Rp 20 juta”. Heboh asal usul kejadiannya dan heboh melihat angka yang sepertinya mudah diucapkan.

Seperti banyak orang merasa penasaran bagaimana kejadian dan sumber angka ini diperoleh, maka ada baiknya mencari tahu sumber informasinya.

Namun, jika informasi tidak didapat, ya mari kita gunakan logika ekonomi sederhana. Mungkin saja ada cerita dan perhitungan yang tidak sejalan dengan logika awam dan banyak orang.

Saya akan mencoba membuatnya melalui tulisan ini. Jika logika dan perhitungan ini salah, mohon pihak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau kantor Kemenko Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) meluruskan.

****

Kelanjutan dugaan kasus pencucian uang salah satu pejabat eselon dua pajak Kemenkeu, belum selesai.

Menko Pulhukam Mahfud MD atas dasar data dari PPATK menggulirkan informasi adanya dugaan Dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di lingkungan Kementerian Keuangan, tepatnya di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai sebesar Rp 300 triliun. Angka tersebut merupakan kumulatif sejak 2009.

Menko Polhukam Mahfud MD dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyatakan bahwa uang sebesar itu bukan kasus korupsi perpajakan dan bea cukai. Namun terkait dugaan “pencucian uang”.

Masalahnya mereka tidak menjelaskan maksud angka Rp 300 triliun, apakah itu mutasi atau saldo rekening gemuk dari para pejabat ASN di kedua direktorat jenderal tersebut.

Dikabarkan bahwa PPATK telah memberikan puluhan surat kepada Kemenkeu untuk menangani kasus TPPU tersebut, tetapi belum pernah ditanggapi secara serius.

Kemenkeu berdalih belum pernah menerima surat dari PPATK dengan menyebut angka Rp 300 triliun atas dugaan TPPU pejabat Kemenkeu.

Setelah beberapa kali dikonfirmasi, baru minggu lalu muncul angka yang lebih besar lagi, yakni Rp 349 triliun. Angka itu juga tidak langsung terkait dengan pejabat Kemenkeu, tetapi mutasi rekening yang berputar di antaranya terkait dengan rekening pejabat Kemenkeu.

Semakin terang benderang? Belum tentu.

Publik meminta PPATK bekerja secara transparan profesional dalam mengusut dugaan TPPU senilai Rp 349 triliun. PPATK diharapkan tak memanfaatkan momentum ini untuk sekadar mencari panggung, demikian para nitizen bersuara.

Rp 349 triliun selama 13 tahun

Kalau angka sebesar itu merupakan saldo rekening pejabat selama 13 tahun (sejak tahun 2009), berarti rata-rata setiap tahun ada saldo atau mutasi rekening kurang lebih Rp 27 triliun per tahun.

Dengan asumsi pejabat eselon III keatas di DJP (Pajak) dan DJBC (bea cukai) adalah 1.500 orang, maka setiap orang memiliki sekitar Rp 27 miliar. Jumlah ini tergolong besar jika dihitung dengan asumsi saldo rekening tahunan.

Namun jika dihitung mutasi rekening, maka jumlah tersebut tidak terlalu signifikan.

Apa bedanya saldo dengan mutasi rekening? Saldo rekening berarti menghitung posisi akhir periode perhitungan. Sementara mutasi rekening berarti saldo plus dana keluar dan masuk ke rekening tersebut.

Dalam perhitungan sederhana, mutasi rekening adalah saldo ditambah dengan dana masuk dari berbagai macam penerimaan, baik gaji maupun transfer dana masuk, dan dana keluar untuk berbagai macam keperluan.

Keperluan yang dimaksud adalah keperluan pemegang rekening untuk (misalnya) membayar sekolah, membayar listrik, telepon, membayar cicilan, uang sumbangan sosial, dan keperluan lainnya (yang sangat banyak). Sehari bisa terjadi beberapa mutasi rekening dan itu dihitung semuanya.

Kesimpulan ini bisa berbeda jika angka tersebut berasal dari beberapa pejabat ASN saja, maka angka tersebut menjadi signfikan dan mencurigakan.

Jika berasal dari tahun 2009 (13 tahun yang lalu), apakah berarti ini termasuk pejabat yang sudah pensiun? Atau hanya yang masih aktif? Kalau masih aktif, pejabat tersebut sudah melakukan TPPU sejak menjadi pelaksana atau masa-masa awal ASN?

Ada yang mensinyalir banyak ASN di Kemenkeu (dan ASN lainnya), berbisnis dan memiliki saham perusahaan atau berdagang saham atas nama istri atau orang lain.

Apakah hal ini dilarang? Setahu saya yang dilarang apabila ASN berbisnis sehingga mengurangi waktu bekerja dan bahkan menimbulkan potensi benturan kepentingan.

Mutasi rekening juga bisa melibatkan pihak lain. Jadi belum tentu murni berasal dari pihak pejabat Kemenkeu.

Menteri Keuangan pernah menyebut dua nama pejabat, yakni SB dan DY yang memiliki rekening jumbo dan tidak sesuai dengan laporan SPT pajaknya. Ternyata kemudian diralat.

Kementerian Keuangan memastikan dua orang berinisial SB dan DY yang disebut memiliki transaksi jumbo hingga triliunan rupiah bukan PNS-nya.

Plt Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan mengatakan dua figur tersebut adalah pelaku usaha yang data transaksi mencurigakannya ditemukan oleh PPATK.

Silahkan pihak-pihak terkait mengklarifikasinya, jangan sampai menuduh pejabat atau lembaga pemerintah mendiamkan adanya dugaan pencucian uang.

Penghasilan Rp 20 juta

Belum lagi tuntas urusan Rp 349 triliun, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan mengenai asumsi jika korupsi pertambangan dapat diberantas, maka akan setara dengan rakyat Indonesia memperoleh gaji Rp 20 juta per bulan. Bahkan termasuk anak-anak kecil, kata Menko Polhukam (Detik.com, 21/3/2023).

Wow, dari mana info tersebut? Dari Abraham Samad, mantan Ketua KPK pada 2013.

Korupsi di sektor pertambangan memang bukan rahasia umum. Namun jumlah korupsi setara dengan angka Rp 20 juta per bulan menjadi sensasional jika dikalikan dengan jumlah rakyat Indonesia per tahunnya.

Coba kita hitung, Rp 20 juta penghasilan per bulan akan menjadi Rp 20 juta x 12 bulan = Rp 240 juta per tahun.

Rp 240 juta jika dikalikan dengan penduduk Indonesia 200 juta (tidak termasuk kelompok anak) menjadi Rp 48.000 triliun. Angka yang sangat tidak masuk akal.

Sebagai informasi PDB Indonesia tahun 2022 hampir Rp 20.000 triliun. Berarti yang dikorupsi dua kali dari PDB Indonesia tahun 2022?

Kalau setara penghasilan di bawah Rp 5 juta juta per bulan “agak” masuk akal.

Mari kita meluruskan angka-angka Rp 300 triliun dan Rp 20 juta dengan logika yang sederhana. Jangan kita menyampaikan angka-angka spektakuler yang sulit dicerna.

Angka-angka yang tidak akurat bisa menghasilkan kebijakan yang keliru.

Serahkan segala urusan pada ahlinya. Serahkan jabatan kepada yang mampu atau kompeten. Demikian sebuah hadist Rasulullah SAW mengingatkan. Selamat puasa Ramadhan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Simak, Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Simak, Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Whats New
Pegadaian Catat Penjualan Tabungan Emas Naik 8,33 Persen di Maret 2024

Pegadaian Catat Penjualan Tabungan Emas Naik 8,33 Persen di Maret 2024

Whats New
BUMN Farmasi Ini Akui Tak Sanggup Bayar Gaji Karyawan sejak Maret 2024

BUMN Farmasi Ini Akui Tak Sanggup Bayar Gaji Karyawan sejak Maret 2024

Whats New
Cara Membuat Kartu Debit Mandiri Contactless

Cara Membuat Kartu Debit Mandiri Contactless

Work Smart
Rincian Lengkap Harga Emas 19 April 2024 di Pegadaian

Rincian Lengkap Harga Emas 19 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Kembali Tertekan, Nilai Tukar Rupiah Dekati Rp 16.300 Per Dollar AS

Kembali Tertekan, Nilai Tukar Rupiah Dekati Rp 16.300 Per Dollar AS

Whats New
Gencar Ekspansi, BUAH Bangun Cold Storage di Samarinda dan Pekanbaru

Gencar Ekspansi, BUAH Bangun Cold Storage di Samarinda dan Pekanbaru

Whats New
Harga Jagung Anjlok: Rombak Kelembagaan Rantai Pasok Pertanian

Harga Jagung Anjlok: Rombak Kelembagaan Rantai Pasok Pertanian

Whats New
Bandara Internasional Soekarno-Hatta Peringkat 28 Bandara Terbaik di Dunia

Bandara Internasional Soekarno-Hatta Peringkat 28 Bandara Terbaik di Dunia

Whats New
IHSG Ambles 1,07 Persen, Rupiah Melemah ke Level Rp 16.266 Per Dollar AS

IHSG Ambles 1,07 Persen, Rupiah Melemah ke Level Rp 16.266 Per Dollar AS

Whats New
Buka Asia Business Council's 2024, Airlangga Tegaskan Komitmen Indonesia Percepat Pembangunan Ekonomi

Buka Asia Business Council's 2024, Airlangga Tegaskan Komitmen Indonesia Percepat Pembangunan Ekonomi

Whats New
Voucer Digital Pizza Hut Kini Tersedia di Ultra Voucher

Voucer Digital Pizza Hut Kini Tersedia di Ultra Voucher

Spend Smart
Harga Bahan Pokok Jumat 19 April 2024, Harga Cabai Rawit Merah Naik

Harga Bahan Pokok Jumat 19 April 2024, Harga Cabai Rawit Merah Naik

Whats New
Detail Harga Emas Antam Jumat 19 April 2024, Naik Rp 10.000

Detail Harga Emas Antam Jumat 19 April 2024, Naik Rp 10.000

Earn Smart
Chandra Asri Group Jajaki Peluang Kerja Sama dengan Perum Jasa Tirta II untuk Kebutuhan EBT di Pabrik

Chandra Asri Group Jajaki Peluang Kerja Sama dengan Perum Jasa Tirta II untuk Kebutuhan EBT di Pabrik

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com