Tahapan krusial yang harus dilakukan saat ini, yakni ketua dan pimpinan DPR mengirimkan surat dan draft RUU PPRT Inisatif DPR kepada Presiden. Kedua, dengan surat dari pimpinan DPR, maka Presiden mengirimkan Surat Presiden ke DPR dan menunjuk Menteri terkait untuk melakukan pembahasan bersama DPR.
Di sisi lain, Pemerintah dengan gugus tugasnya mesti sudah mempersiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) agar nantinya segera dapat dibahas secara formal dengan Baleg DPR RI.
"Kami yakin bahwa pembahasan bersama DPR dan pemerintah akan menghasilkan UU yang bermanfaat dan implementatif di lapangan demi Indonesia sebagai negara dan bangsa yang ramah dan berkemanusiaan, berkeadilan, tanpa ada pengecualian terhadap PRT,” ujar Lita Anggraini.
Baca juga: Banyak Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pengamat: Banyumas Sedang Tidak Baik-baik Saja
Belum ada undang-undang yang khusus mengatur PRT. Maka dari itulah, dia berpendapat, UU PPRT dibutuhkan segera. Salah satu pokok RUU ini adalah pengakuan PRT sebagai tenaga kerja.
“Sejauh ini belum ada perlindungan terhadap hak-hak PRT, terutama hak yang sangat mendasar, seperti kepastian upah, jam kerja dan beban kerja, jaminan sosial, hingga kesempatan libur dan cuti. Kebanyakan dari mereka juga tidak ada perjanjian kerja secara formal yang tegas. Ini yang membuat PRT menjadi sangat lemah,” kata dia.
Tri Wuryaningsih mengatakan, dalam konteks perkembangan zaman sekarang, bagaimanapun menjadi PRT adalah sebuah pilihan pekerjaan.
Artinya, ketika ada orang yang bekerja menjadi PRT, dia memang butuh uang. Dengan kata lain, orang tersebut menyerahkan waktunya memang untuk bekerja dan itu menjadi sumber penghidupan.
“Berbeda dengan dulu. Dalam budaya Jawa, ada namanya ngenger. Ini adalah tradisi menitipkan hidup ke orang lain. Praktik ini biasanya dilakukan oleh keluarga kurang mampu dengan menitipkan anak kepada kerabat yang lebih mapan atau pejabat. Tujuannya tidak selalu dalam bentuk uang. Bisa jadi tercukupi makannya, atau ada sisi kebanggaan tersendiri. Nah, praktik semacam ini sudah tidak relevan lagi,” ucap Tri.
Dia menyebut, budaya ngenger ini telah memengaruhi cara pandang terhadap PRT yang dianggap sebagai bagian dari keluarga. Meski anggapan ini baik, Tri menilai, cara pandang itu secara tidak langsung justru melemahkan posisi PRT sebagai pekerja dalam hubungan kerja yang profesional.
Dalam situasi sulit saat ini, Ketua Bidang Advokasi Kebijakan SPRT Tunas Mulia, Jumiyem, mengajak para PRT untuk bergabung dalam serikat pekerja. Menurut dia, ada sejumlah keuntungan yang bisa dicapai jika para PRT berserikat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.