Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PRT Kebingungan, Pemda Tak Punya Data, UU PPRT Jadi Solusinya…

Kompas.com - 29/03/2023, 20:40 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

 

YOGYAKARTA, KOMPAS.com – “Belum cukup!”. Itulah dua kata yang pertama kali keluar dari mulut Jumiyem (45) ketika ditanya soal keberadaan Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) No. 31 tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Dia menuturkan, kehadiran Pergub itu memang sudah memberikan pengakuan secara hukum terhadap jenis pekerjaan kerumahtanggaan. Tetapi, kata Jumiyem, peraturan ini belumlah cukup dalam mengakomodasi hak PRT di DIY.

Soal upah misalnya. PRT yang menjadi pengurus Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia itu menjelaskan, Pergub DIY tak mangatur secara pasti soal besaran upah layak yang harus dibayarkan pemberi kerja.

Baca juga: Bukan Cuma Pembantu, Ini Ragam Pekerjaan TKI di Luar Negeri

Dalam Pergub, disebutkan bahwa upah minimum bagi PRT yakni sesuai dengan kemampuan pemberi kerja dengan mempertimbangkan pada tingkat upah umum PRT di lingkungannya, kesepakatan dengan PRT, dan besarnya pekerjaan yang dibebankan kepada PRT itu sendiri.

Di sini, Jumiyem menilai, Pemerintah DIY justru terkesan mendukung keleluasaan bagi para pemberi kerja dalam menentukan upah bagi PRT.

Sementara, dia menyaksikan, Pemerintah DIY selama ini tak pernah memberikan edukasi soal upah layak dan kemampuan lobi kepada PRT yang dapat mereka gunakan untuk memperjuangkan hak-hak ketika berhadapan dengan calon pemberi kerja.

Jumiyem menyebut, yang terjadi di lapangan, rata-rata upah PRT di DIY masih jauh dari upah minimum provinsi (UMP) –senilai Rp 1.981.782,39 pada 2023.

“Rata-rata upah PRT di DIY itu kecil sekali, hanya Rp 500.000-Rp 800.000 per bulan, jauh dari UMR,” ucap Lek Jum -panggilan akrab Juimiyem, saat berbincang dengan Kompas.com pada Rabu (22/3/2023).

Upah sebesar itu kata dia, muskil cukup untuk digunakan hidup sebulan, apalagi bagi PRT yang sudah berkeluarga.

Jumiyem mengutarakan, beberapa PRT bahkan harus menerima nasib lebih tragis lagi, yakni upahnya tak dibayarkan oleh majikan. SPRT Tunas Mulia hampir setiap tahun selalu menerima aduan terkait kasus itu.

Dalam tiga tahun terakhir, jumlahnya malah terus meningkat. Pada 2020 ada 51 aduan, pada 2021 terdapat 67 aduan, dan pada 2022 naik lagi jadi 71 aduan.

Dia menilai, hal tersebut bisa terjadi tidak lain karena kurangnya jaminan hukum yang melindungi hak PRT.

Jumiyem pun menggambarkan keberadaan Pergub DIY No. 31 tahun 2010 hanya sebatas imbauan. Begitu juga dengan kehadiran Peraturan Walikota (Perwali) Yogyakarta No. 48 tahun 2011 tentang PRT.

Pengurus Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia, Jumiyem atau akrab disapa Lek Jum.Dok. Pribadi Jumiyem Pengurus Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Tunas Mulia, Jumiyem atau akrab disapa Lek Jum.

Dia menuturkan, di dalam dua peraturan tersebut sebenarnya telah dituangkan dengan jelas hak dan kewajiban PRT maupun pemberi kerja.

Sebagai contoh di Pergub DIY No. 31 tahun 2010, dikatakan bahwa PRT antara lain berhak atas hari libur; upah; kerja yang layak tanpa kekerasan; beban kerja dan jenis kerja yang jelas; waktu istirahat yang cukup; dan cuti baik karena alasan kesehatan maupun alasan lainnya.

Baca juga: Pemerintah Stop Pengiriman Pembantu Rumah Tangga Borongan

Namun pada praktiknya, Jumiyem bersaksi, masih ada banyak PRT di DIY yang menghadapi situasi kerja sangat-sangat tidak layak. Mereka di antaranya memiliki jam kerja yang sangat panjang dan memikul beban kerja sangat berat di luar kesepakatan, dengan gaji yang sangat minim.

Hal ini, kata dia, bisa menjadi buktu bahwa Pergub dan Perwali memang tidak cukup kuat dalam menjamin perlindungan terhadap PRT di DIY.

“Banyak pemberi kerja yang menolak usulan PRT untuk ada libur mingguan. Saya sendiri mendengar dari majikan, ‘mosok PRT pengen ada hari libur mingguan, kayak buruh pabrik atau karyawan wae’. Di Jogja masih seperti itu, dan apa respons Pemerintah? Hanya pembiaran. Jadi tak ada bedanya ada Pergub dan Perwali atau tidak,” ucap Lek Jum.

Dalam hal hubungan kerja, Pergub dan Perwali juga disayangkan tak mengambil sikap tegas untuk mendorong pemberi kerja dan PRT mendokumentasikan perjanjian kerja secara tertulis.

Pergub No. 31 tahun 2010 maupun Perwali No. 48 tahun 2011 melainkan sama-sama menawarkan perjanjian kerja dapat dituangkan secara tertulis maupun tidak tertulis.

Karena tidak ada bukti kasat mata, dia berpendapat, perjanjian kerja secara lisan lebih rentan dilanggar baik itu oleh pemberi kerja maupun penerima kerja.

Sementara, SPRT Tunas Mulia mendapati sebagaian besar PRT di DIY masih terikat dalam perjanjian tak tertulis.

Baca juga: 32 Persen Pekerja Migran Indonesia Adalah Pembantu Rumah Tangga

“Belum lama ini juga ada PRT yang dipecat secara sepihak oleh majikannya setelah bekerja 16 tahun. Karena tidak ada perjanjian kerja, ya akhirnya susah. Sementara, ketika kami minta tolong ke Dinas Provinisi, dijawabnya ini tidak diatur dalam UU Cipta Kerja,” jelas perempuan yang sudah menjadi PRT sejak 1992 di kala usianya baru 15 itu.

Jumiyem yakin nasib miris dialami pula oleh para PRT di daerah-daerah lain. Kondisi di luar DIY, kata dia, malah bisa jadi lebih parah karena kurangnya kepedulian pemerintah daerah dan belum terbentuknya serikat PRT.

PRT kebingungan mengadu ke mana

Benar saja, upah rendah, tanggung jawab berlapis, jam kerja tak pasti, dan sederet masalah lain juga melilit tubuh para PRT di daerah lain. Setidaknya itu yang dialami Wati (42) dan Ina (39) di Kabupaten Banjarnegara, Jateng.

Pawai hak asasi manusia (HAM) mendukung percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) di Jakarta, Minggu (12/2/2023).Dokumentasi Kementerian KetenagakerjaanR Pawai hak asasi manusia (HAM) mendukung percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) di Jakarta, Minggu (12/2/2023).

Wati mengaku tak memiliki perjanjian kerja secara tertulis dengan majikannya.

Dalam perjanjian secara lisan, dia pun bercerita, pada mulanya disepakati dirinya bisa pulang pada pukul 15.00 WIB setelah bekerja mulai pukul 06.00 WIB. Tetapi realitanya, Wati lebih sering baru bisa pulang pukul 17.00 WIB lebih.

Meski bekerja lembur, dia tak pernah mendapatkan upah tambahan. Dalam sebulan, Wati diberi upah Rp 900.000. Jumlah ini tidak tidak lebih dari setengah dari besaran UMK di Banjarnegara yang terendah di Jateng, yakni senilai Rp 1.958.169,69.

Sementara itu, dalam praktiknya, Wati sehari-hari bukan hanya diminta untuk mengurus pekerjaan rumah sesuai dengan kesepakatan awal, melainkan membantu juga si pemberi kerja memproduksi makanan dagangan.

Nasib miris tak jauh beda dialami oleh Ina. Dia malah mesti tiba di rumah pemberi kerja lebih pagi pada pukul 05.00 WIB untuk menyiapkan makanan dan berbagai hal lain sebelum majikan bekerja dan anaknya berangkat sekolah. Sementara, Ina seringkali baru bisa pulang jelang magrib.

Ina juga hanya digaji kurang dari setengah UMK, yakni sekitar Rp 850.000 per bulan.

Baik Ina maupun Wati sama-sama menyampaikan upah yang mereka terima saat ini sebenarnya di bawah angka yang diharapkan. Namun, mereka tak berani menyampaikan usulan tersebut kepada pemberi kerja.

Baca juga: Jala PRT Minta Aturan Pelatihan dan Pengawasan PRT Diprioritaskan dalam Pembahasan RUU PPRT

Ina dan Wati khawatir posisi mereka justru digantikan orang lain jika usul naik upah. Mereka melihat di Banjarnegara persaingan untuk menjadi PRT cukup ketat. Banyak perempuan lain dari desa membutuhkan pula pekerjaan itu, utamanya kepada masyarakat di wilayah Kota.

Keduanya sejak awal memutuskan pasrah dengan upah yang ditentukan oleh pihak pemberi kerja. Ina mengaku bersyukur setidaknya upahnya sekarang sudah naik atau lebih banyak dari saat awal kali bekerja.

“Dari awal saya takut kalau bicara upah, khawatir dianggap neka-neko (macam-macam) dan Bapak (pemberi kerja) memilih mempekerjaan orang lain,” ucap Ina saat ditemui di dekat tempatnya bekerja, tidak jauh dari Alun-alun Kota Banjarnegara.

Selain kenaikan upah, Ina dan Wati sebenarnya ingin sekali menyampaikan usulan pengurangan jam kerja kepada majikan masing-masing. Tetapi lagi-lagi, mereka tak berani untuk melakukannya.

Dalam posisi sekarang, Ina dan Wati mengaku sedang kebingungan. Di satu sisi, mereka ingin berhenti bekerja karena merasa tidak nyaman. Tapi di sisi lain, keduanya berpikir perlu menyokong ekonomi keluarga.

Ina pun bercerita sering menangis di malam hari meratapi nasibnya. Dia merasa menjadi korban karena tak punya pilihan.

Ina tak berani mendiskusikan ketidaknyamananya menjadi PRT kepada sang suami. Dia takut dianggap tidak tahu diri karena keluarga butuh pemasukan tambahan.

Padahal di rumah sendiri sepulang kerja, dia masih harus melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Kepada orang tuanya, Ina juga tak berani bercerita karena dikhawatirkan malah menambah beban pikiran mereka.

Wati dan Ina tak tahu harus ke mana lagi bisa mengadukan keluh kesah dan harapan-harapan mereka, selain kepada Tuhan.

Keduanya sama-sama pesimistis Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjarnegara mau membantu menyelesaikan masalah mereka. Sebab, yang mereka lihat, pemerintah selama ini tak pernah menganggap PRT sebagai pekerja yang layak dilindungi.

Dengan ini, Ina dan Wati mengaku tak punya pikiran untuk melapor ke Dinas Ketenagakerjaan.

“Masalah PRT digaji kecil dengan jam kerja tidak menentu saya rasa sudah jadi rahasia umum di mana-mana. Pemerintah mungkin sudah menganggap hal itu lumrah. Mereka memang tak peduli nasib PRT,” keluh Wati.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com