Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Pakaian Bekas Impor dan Pembenahan Industri Tekstil Indonesia

Kompas.com - 30/03/2023, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM lama ini, pemerintah terlihat semakin gencar dan tegas melarang penjualan produk pakaian bekas impor. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bahkan melakukan gerakan pembakaran pakaian bekas impor di beberapa lokasi.

Larangan ini sesungguhnya telah ada sejak dua tahun lalu melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021.

Namun realitasnya tak semudah itu menerapkan aturan di lapangan karena ternyata pasar pakaian bekas masih besar karena permintaannya masih tinggi.

Di Indonesia, pasar atau toko-toko pakaian bekas masih antusias dikunjungi kosumennya. Dengan kata lain, aktivitas membeli pakaian bekas (thrifting) masih banyak diminati oleh masyarakat.

Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan thrifting semakin digemari, yaitu faktor ekonomi karena masyarakat bisa mendapatkan barang-barang bermerek dengan harga lebih murah dan faktor tren.

Melalui larangan ini, pemerintah berharap dapat melindungi produk-produk usaha mikro, kecil, menengah (SMKM) lokal, khususnya bidang tekstil.

Selain masalah kesehatan dan lingkungan, thrifting impor juga dianggap tidak sejalan dengan Gerakan Bangga Buatan Indonesia yang belakangan kerap digaungkan pemerintah.

Para pedagang terancam akan kehilangan mata pencahariannya sebagai pedagang pakaian bekas akibat rencana pemerintah mengeluarkan aturan melarang mengimpor pakaian bekas.DEFRIATNO NEKE Para pedagang terancam akan kehilangan mata pencahariannya sebagai pedagang pakaian bekas akibat rencana pemerintah mengeluarkan aturan melarang mengimpor pakaian bekas.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Kebijakan pemerintah dianggap tidak menyentuh persoalan yang sebenarnya.

Industri tekstil nasional sebenarnya tidak terlalu terpengaruh oleh impor pakaian bekas. Namun justru terpengaruh besarnya porsi impor tekstil nasional, yang didominasi oleh impor tekstil dan berbahan tekstil dari China dan negara lainya.

Datanya memang menunjukkan demikian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam 5 tahun terakhir Indonesia memang kebanjiran rata-rata 2,25 juta ton produk tekstil tiap tahunnya.

Volume impor tekstil Indonesia juga tercatat meningkat 21,11 persen menjadi 2,2 juta ton pada 2021 dibanding tahun sebelumnya.

Lima negara asal impor terbesar adalah Tiongkok 990,20 ribu ton, Brasil 174,80 ribu ton, Amerika Serikat 137,90 ribu ton, Korea Selatan 122,10 ribu ton, dan Australia 115,90 ribu ton.

Jadi sangat bisa dipahami penolakan dari banyak pihak di sini atas kebijakan larangan impor pakaian bekas di Indonesia, karena tak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya yang ada di seputar tekstil dan industri tekstil.

Persoalan utama industri tekstil kita adalah pelemahan daya saing dibanding industri tekstil di negara-negara tetangga. Dalam bahasa ekonomi, industri tekstil kita terancam gelombang deindustrialisasi.

Ditambah tekanan resesi global sejak pertengahan tahun lalu, yang menekan permintaan perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor nasional, terutama perusahaan tekstil dan garmen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com