Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan Kemenkeu soal Dugaan TPPU Bea Cukai Senilai Rp 189 Triliun

Kompas.com - 31/03/2023, 15:21 WIB
Rully R. Ramli,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara buka suara terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 189 triliun di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai Kemenkeu).

Pernyataan dugaan TPPU itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dalam gelaran rapat kerja Komisi III DPR. Mahfud mengatakan ada dugaan pencucian uang itu terkait impor emas batangan.

Suahasil menjelaskan, nilai temuan tersebut terkait pencegahan ekspor emas yang dilakukan oleh Ditjen Bea Cukai pada Januari 2016, bukan impor emas. Saat itu, Ditjen Bea Cukai menghentikan kegiatan ekspor yang berpotensi melanggar ketentuan kepabeanan, sebab di dalam data tertulis komoditas yang akan diekspor emas perhiasan, namun ternyata komoditas yang akan dikirimkan berupa ingot (emas batangan).

Baca juga: Koper Alissa Wahid Diacak-acak Petugas, Dirjen Bea Cukai: Jadi Bahan Masukan untuk Perbaikan

"Dan itu disetop oleh Bea Cukai. Ketika disetop oleh Bea Cukai, maka kemudian didalami dan dilihat ini ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti dengan penelitian, penyidikan," kata dia, dalam dalam media briefing, di Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Dalam proses penyidikan tersebut, Ditjen Bea Cukai bekerja sama dengan PPATK untuk mengetahui transaksi yang bersangkutan. Kemudian, laporan PPATK dengan nilai total transaksi uang keluar dan masuk sebesar Rp 189 triliun diterima Ditjen Bea Cukai.

Setelah melakukan penyidikan, kasus berlanjut ke pengadilan. Suahasil bilang, proses pengadilan berlangsung sejak 2017-2019.

Baca juga: Dirjen Bea Cukai Bantah Ada Pungli Registrasi IMEI di Kualanamu


"Proses pengadilannya gimana? Di pengadilan negeri, Bea Cukai kalah. Lalu Bea Cukai kasasi, di kasasi, Bea Cukai menang. Lalu tahun 2019 dilakukan penilitan kembali atau PK atas permintaan terlapor. Di peninjauan kembali, Bea Cukai kalah lagi," tuturnya.

"Jadi dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanan di PK 2019," tambahnya.

Setelah kalah dalam proses PK, penyelidikan terkait TPPU tidak berlanjut. Sebab, Suahasil menyebut, ketika tindak pidana asal tidak terbukti oleh pengadilan, maka penyelidikan TPPU tidak bisa dilanjutkan.

"Dari periode (2016-2019) ini lah terjadi pertukaran data yang termasuk yang dikatakan diskusi-diskusi Kemenkeu dengan PPATK yang ada nama Pak Heru (Dirjen Bea Cukai periode 2015-2021) disebut menerima data," ujar Suahasil.

Baca juga: Pesan Sri Mulyani ke Petugas Bea Cukai: Perbaiki Layanan, Jangan Semua Barang Orang Diacak-acak

Pelanggaran kembali terjadi 2020

Adapun pada 2020, Ditjen Bea Cukai kembali menemukan modus serupa pada 2016. Oleh karenanya Ditjen Bea Cukai melakukan pembahasan kembali dengan PPATK.

PPATK kemudian mengirimkan lagi data terkait modus yang pernah terjadi. Hal ini ditindaklanjuti dengan serangkaian rapat untuk menentukan langkah selanjutnya.

"Sampai dengan Agustus 2020, kalau modusnya sama kasus 2016-2019 kita sudah dikalahkan oleh pengadilan," kata Suahasil.

Baca juga: Jejak Kelam Bea Cukai, Tenar Jadi Sarang Pungli dan Dibekukan Soeharto

Oleh karenanya, Kemenkeu memutuskan untuk menjerat yang bersangkutan dengan potensi pelanggaran pajak. Sehingga, PPATK mengirimkan kembali hasil temuannya kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kemenkeu.

Berkaitan dengan hasil pemeriksaan PPATK, Ditjen Pajak telah melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap 3 WP, pemeriksaan terhadap 3 WP ini dan pengawasan terhadap 7 orang WP. Adapun hingga saat ini nilai penerimaan pajak yang dihasilkan terkait dengan informasi hasil pemeriksaan PPATK tersebut senilai Rp 16,8 miliar dan mencegah restitusi senilai Rp 1,6 miliar.

"Setelah dipaparkan bahwa indikasi pelanggaran bidang kepabeanannya berdasarkan situasi modus yang sama di tahun 2019 itu dinyatakan oleh pemeriksaan kembali tidak masuk. Jadi, dikejar pajaknya dapatnya sekian," ucap Suahasil.

Baca juga: Gaji Tinggi, Tetap Korupsi, Ironi Remunerisasi di Bea Cukai

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com