Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benang Merah Data Mahfud MD dan Sri Mulyani soal Transaksi Janggal

Kompas.com - 01/04/2023, 05:44 WIB
Rully R. Ramli,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Isu temuan transaksi janggal senilai Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih hangat diperbincangkan publik.

Teranyar, muncul narasi yang menyebutkan terdapat perbedaan data yang dimiliki antara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati.

Narasi tersebut muncul dalam gelaran rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR bersama Mahfud MD. Dalam rapat tersebut, Mahfud menyebutkan transaksi mencurigakan yang berkaitan langsung dengan pegawai Kemenkeu nilainya mencapai Rp 35 triliun. Nilai ini menjadi berbeda dengan yang disampaikan Sri Mulyani, yakni sebesar Rp 3,8 triliun.

Baca juga: Penjelasan Kemenkeu soal Beda Data Transaksi Janggal dengan Mahfud MD

"Transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kemenkeu, kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI (DPR RI) menyebut hanya Rp 3 triliun, yang benar Rp 35 triliun," ujar Mahfud MD dalam gelaran rapat dengar pendapat umum, Rabu (29/3/2023).

Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan, data yang digunakan oleh Kemenkeu dan Menko Polhukam selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU sama. Namun, dalam penyampaiannya bisa saja terdapat perbedaan.

"Kita bekerja sama dengan data yang sama. Keseluruhan 300 surat dengan nilai Rp 349,87 triliun. Sumber suratnya sama, cara menyajikan bisa beda, tapi kalau tetap dikonsolidasi sama," tutur dia dalam media briefing, di Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Baca juga: Sri Mulyani Rapat 5 Jam dengan DPR Jelaskan Transaksi Janggal hingga Alphard Masuk Apron


Klarifikasi itu kemudian direspons kembali oleh Mahfud melalui unggahan akun Twitter-nya. Ia mengatakan, terdapat perbedaan pemilahan data antara Kemenkeu dengan pihaknya.

"Akhirnya clear, kan? Wamenkeu mengakui tdk ada perbedaan data antar Kemenkeu dan Menko Polhukam/PPATK ttg dugaan pencucian uang. Angka agregat 349T dgn 300 surat. Bedanya hanya cara memilah data. Itu yg sy bilang di DPR. Skrng tinggal penegakan hukumnya," tulis Mahfud.

Lantas sebenarnya bagaimana perbedaan klasifikasi antara data Menkopolhukam dengan Menkeu?

Baca juga: Disinggung Mahfud MD dalam Temuan Transaksi Rp 189 Triliun, Heru Pambudi Beri Klarifikasi

Penyajian data versi Mahfud MD

Dalam gelaran RDPU Komisi III, Mahfud menjelaskan, temuan transaksi senilai Rp 349 triliun itu merupakan data agregat dari dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kemenkeu pada periode 2009-2023. Nilai itu merupakan nilai total dari 300 laporan hasil analisis (LHA).

Secara garis besar, Mahfud membagi 300 LHA itu ke dalam 3 klaster, yakni klaster transaksi mencurigakan yang langsung melibatkan pegawai Kemenkeu, klaster transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain, serta transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan.

Di klaster pertama, yakni transaksi mencurigakan yang langsung melibatkan pegawai Kemenkeu nilainya mencapai Rp 35,55 triliun. Nilai tersebut terdiri dari 153 LHA yang dikirimkan ke Kemenkeu dan 83 LHA yang dikirimkan ke aparat penegak hukum (APH).

Baca juga: Mahfud MD: Sebelum Diblokir PPATK, Rafael Bolak-balik ke Deposit Box

Kemudian di klaster kedua, total nilainya mencapai Rp 53,82 triliun. Nilai ini terdiri dari 15 LHA yang dikirimkan ke Kemenkeu, 1 LHA dikirimkan ke kementerian atau lembaga, dan 14 LHA dikirimkan ke APH.

Klaster ketiga, nilainya mencapai Rp 260,50 triliun. Klaster ini terdiri dari 32 LHA yang dikirimkan ke Kemenkeu dan 2 LHA dikirimkan ke APH.

Dengan demikian, total nilai temuan transaksi mencapai Rp 349,87 triliun. Nilai ini merupakan akumulasi dari 300 LHA yang dikirimkan PPATK ke Kemenkeu, kementerian dan lembaga lain, serta APH.

Baca juga: Penjelasan Kemenkeu soal Dugaan TPPU Bea Cukai Senilai Rp 189 Triliun

Penyajian data versi Sri Mulyani

Dalam gelaran rapat kerja Komisi XI DPR RI, Sri Mulyani juga membagi nilai temuan transaksi senilai Rp 349 triliun ke dalam 3 klaster. Ketiga klaster itu terdiri dari klaster surat terkait korporasi dan pegawai Kemenkeu, klaster surat yang dikirimkan ke APH, dan klaster surat berkaitan dengan perusahaan atau korporasi.

Untuk klaster yang pertama, nilainya mencapai Rp 22 triliun. Namun, klaster ini kembali terbagi menjadi dua, yakni nilai temuan yang berkaitan dengan korporasi nilainya Rp 18,7 triliun dan nilai transaksi berkaitan pegawai Kemenkeu nilainya Rp 3,3 triliun. Pada klaster ini, terdapat 135 surat yang dikirimkan oleh PPATK.

Sementara itu, klaster kedua nilainya mencapai Rp 74 triliun. Nilai ini merupakan akumulasi dari 100 surat yang dikirimkan PPATK ke APH.

Baca juga: Sri Mulyani Beberkan Kronologi Temuan Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Hadapan DPR

Lalu klaster terakhir, nilainya mencapai Rp 253 triliun. Pada klaster ini, terdapat 65 surat yang dikirimkan berkaitan dengan perusahaan atau korporasi.

Dengan demikian, total nilai temuan transaksi juga sama seperti data yang dimiliki oleh Mahfud MD, yakni sebesar Rp 349 triliun. Nilai ini juga akumulasi dari 300 surat yang dikirimkan PPATK.

Benang merah

Jika disandingkan secara langsung antara data yang dipaparkan oleh Mahfud MD dan Sri Mulyani memang terdapat perbedaan nilai dalam setiap klaster. Hal ini sebenarnya disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi dalam klasifikasi nilai temuan transaksi.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, Kemenkeu tidak menerima LHA yang dikirimkan PPATK ke APH. Oleh karenanya, dalam paparan Sri Mulyani, Kemenkeu tidak mengakumulasikan nilai LHA berkaitan dengan transaksi pegawai Kemenkeu yang dikirimkan PPATK ke APH.

Baca juga: Jelaskan soal Transaksi Rp 300 Triliun, Sri Mulyani Singgung Nama Gayus dan Angin Prayitno

Begitupun dalam klaster transaksi mencurigakan berkaitan dengan perusahaan atau korporasi. Kemenkeu tidak memasukan angka LHA berkaitan dengan korporasi yang dikirimkan ke APH dalam klaster tersebut.

"Sumber suratnya sama, cara menyajikan bisa beda, tapi kalau tetap dikonsolidasi sama," kata dia.

Kemenkeu pun mencoba menyandingkan data temuan transaksi versi Mahfud MD dengan klasifikasi yang telah dilakukan kementerian. Hal ini dilakukan dengan cara menggabungkan surat yang dikirimkan ke Kemenkeu dan APH ke dalam klaster berkaitan.

Pada klaster transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu, sebenarnya terdapat dua sub klaster, yakni surat dikirimkan ke Kemenkeu dan surat yang dikirimkan ke APH. Untuk surat yang dikirimkan ke Kemenkeu nilainya sebesar Rp 22,04 triliun dan dikirimkan ke APH nilainya Rp 13,08 triliun. Dengan demikian, total nilai klaster sebesar Rp 35,12 triliun.

Baca juga: 8 Jam Mahfud Rapat dengan Komisi III, Beberkan Asal-usul Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kemenkeu

Pada klaster transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain, nilainya mencapai Rp 47,01 triliun.

Sedangkan pada klaster transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan, juga terdapat LHA yang dikirimkan ke Kemenkeu dan LHA yang dikirim ke APH. LHA yang dikirimkan ke Kemenkeu nilainya mencapai Rp 253,56 triliun dan LHA yang dikirimkan ke APH nilainya Rp 14,19 trilun. Akumulasi nilai dari klaster ini mencapai Rp 267,75 triliun.

Pada akhirnya total nilai temuan transaksi juga sama, yakni sebesar Rp 349,87 triliun. Ini juga terdiri dari 300 surat yang dikirimkan PPATK ke Kemenkeu dan APH.

Dengan penjelasan tersebut, Kemenkeu menilai data yang digunakan oleh Kemenkeu dan Menko Polhukam sebenarnya punya benang merah alias saling terkait. Akan tetapi dalam pemaparannya memang terdapat perbedaan.

Baca juga: Soal Perbedaan Data Transaksi Janggal, Jokowi: Ditanyakan ke Menkeu dan Mahfud

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com