Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nanang Suko Sadono
Pegawai Negeri Sipil

PNS yang saat ini sedang menyelesaikan studi doktoral manajemen dan kebijakan publik pada Universitas Gadjah Mada

Kasus "Pemalakan" Pajak Impor: Antara Keadilan Masyarakat dan Motivasi Petugas

Kompas.com - 13/04/2023, 09:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA waktu belakangan ramai beredar pemberitaan di media yang mengeluhkan pembayaran pajak atas barang yang dikirim dari luar negeri.

Seperti dialami oleh Fatimah Zahratunnisa. Ia diminta membayar pajak sebesar Rp 4 juta atas piala yang dimenangkannya pada saat mengikuti perlombaan menyanyi di Jepang.

Kata-kata yang viral “Ya udah deh, kamu punya uang berapa sekarang, bisa bayar berapa?” menjadi hal yang sangat disorot oleh masyarakat. Publik memandang hal tersebut sebagai sikap tidak profesional atau bahkan penyalahgunaan wewenang dari petugas Bea Cukai.

Kasus tersebut juga membuat masyarakat menganggap pemerintah tidak memberikan dukungan terhadap prestasi anak negeri di kancah internasional.

Selain kejadian yang dialami oleh Fatimah, ramai juga pemberitaan mengenai Kris Antoni yang memenangkan kompetisi di Amerika Serikat.

Seperti Fatimah, Kris Antoni juga diminta membayar pajak untuk piala penghargaan yang diperolehnya pada event Flash Game Summit di Amerika Serikat pada 2013.

Merespons kasus Fatimah dan Kris Antoni, banyak netizen yang kemudian turut menghujat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Kementerian Keuangan sebagai institusi yang penuh dengan mafia pajak.

Aturan impor barang kiriman

Sebelum mengupas lebih jauh mengenai fenomena tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana peraturan mengenai pengiriman barang dari luar negeri ke Indonesia.

Secara prinsip, merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006), semua barang yang diimpor dari luar negeri terutang bea masuk.

Selain bea masuk, terdapat juga pajak lainnya yang perlu dipungut atas barang yang diimpor tersebut, yaitu PPN impor dan PPh pasal 22 impor. Ketentuan ini berlaku pula untuk barang kiriman (paket yang dikirimkan dari luar negeri ke Indonesia).

Secara spesifik, ketentuan atas barang kiriman impor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019.

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa barang kiriman dari luar negeri, apabila nilainya melebihi 3 dollar AS, akan dikenakan pajak impor yang meliputi bea masuk 7,5 persen PPN 11 persen, tanpa melihat jenis barangnya.

Namun, terdapat pengecualian untuk tiga kategori barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi, yaitu tas, produk tekstil, dan alas kaki, di mana tarif pajak impornya mengacu pada tarif pajak impor yang berlaku secara umum (diatur dalam peraturan terpisah).

Terdapat pula barang yang dibebaskan dari pajak impor (dikenakan tarif 0 persen), yaitu barang berupa buku, majalah, dan barang semacamnya.

Perspektif masyarakat dan pegawai Bea Cukai

Kembali ke beberapa kasus viral di media sosial tersebut, yang bisa kita lihat dari dua sisi berbeda, yakni dari sisi masyarakat dan dari sisi pegawai Bea Cukai.

Pertama, dari sisi masyarakat, kritik atau bahkan celaan dan makian yang begitu banyak muncul di media sosial, mencerminkan persepsi masyarakat bahwa Bea Cukai telah gagal dalam memenuhi harapan atau ekspektasi mereka.

Ditambah lagi, kasus-kasus tersebut mencuat setelah ramainya pemberitaan mengenai beberapa pejabat Kementerian Keuangan yang dinilai mempunyai kekayaan tidak wajar dan bergaya hidup mewah.

Kekecewaan publik ini kemudian mempunyai dampak lanjutan, salah satunya muncul ajakan untuk tidak membayar pajak.

Insight yang tak kalah menarik jika kita melihat fenomena tersebut dari perspektif pegawai Bea Cukai.

Dalam kasus Fatimah dan Kris Antoni, meskipun dari kacamata masyarakat seolah-olah pegawai Bea Cukai bertindak semena-mena terhadap masyarakat, namun tidak ada narasi satupun dalam media yang menyebutkan bahwa petugas Bea Cukai memeras atau meminta uang untuk dimasukkan ke kantong pribadinya.

Konteks “semena-mena” pegawai Bea Cukai yang muncul di media adalah tentang pajak yang dinilai terlalu tinggi dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, serta sikap yang dipandang arogan.

Hal ini sebenarnya, meskipun tidak membenarkan pula sikap pegawai yang arogan, perlu diapresiasi.

Kata-kata "Ya udah deh, kamu punya uang berapa sekarang, bisa bayar berapa?" jika dilihat dari sudut yang berbeda, justru menggambarkan upaya putus asa petugas dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemungut pajak, yang berusaha menjembatani antara tuntutan tugas dan kerelaan masyarakat dalam membayar pajak.

Meskipun, tidak menutup pula kemungkinan masih adanya oknum-oknum petugas yang memang mempunyai niat buruk untuk mengambil keuntungan pribadi dengan memanfaatkan posisi dan kewenangan yang dimiliki.

Dampak terhadap pegawai

Respons yang terkesan terburu-buru dari pimpinan Kementerian Keuangan dengan meminta maaf atas kasus yang terjadi justru bisa berakibat fatal bagi motivasi pegawai jika diulas dari teori keadilan (equity theory), salah satu cabang teori motivasi.

Teori ini menekankan pentingnya persepsi individu tentang keadilan dan keseimbangan dalam penghargaan (rewards) dan kontribusi dalam suatu hubungan kerja atau organisasi.

Menurut teori ini, individu akan membandingkan input (kontribusi) yang mereka berikan dengan output (penghargaan) yang mereka terima.

Rewards dalam konteks ini tidak hanya berupa reward finansial seperti gaji dan tunjangan kinerja, namun juga meliputi pengakuan (recognition) dari organisasi terhadap individu, baik dari aspek kemanusiaan (human being) maupun pengakuan terhadap kinerja dan kontribusinya terhadap organisasi.

Reward yang kedua ini, dalam beberapa penelitian justru mempunyai efek yang lebih kuat daripada reward finansial, karena akan memberikan dorongan motivasi sebagai akibat peningkatan rasa percaya diri dan kebanggaan diri seseorang.

Penghargaan yang diberikan dapat dimaknai pegawai dihargai atas kontribusi mereka, dan dapat memperkuat ikatan emosional antara pegawai dan organisasi.

Penghargaan juga dapat meningkatkan motivasi intrinsik karena penghargaan yang diberikan mengindikasikan seorang pegawai telah melakukan sesuatu yang benar, penting dan bermanfaat.

Dalam kasus ini, permintaan maaf dari pimpinan Kementerian Keuangan dalam menyikapi persoalan yang terjadi, alih-alih memberikan kesan positif, dapat menimbulkan efek negatif khususnya terhadap pegawai Bea Cukai.

Permintaan maaf tersebut dapat dipersepsikan pegawai sebagai sikap pimpinan Kementerian Keuangan yang menganggap apa yang dilakukan pegawai dalam kasus tersebut adalah salah, dan mengamini semua hal yang dipersepsikan oleh masyarakat.

Padahal, bisa jadi pegawai tersebut justru berusaha semaksimal mungkin melakukan tugasnya sebagai aparat pemungut pajak.

Dalam pandangan equity theory, pegawai tersebut telah memberikan input (kontribusi) maksimal kepada organisasinya, namun upaya tersebut tidak mendapatkan pengakuan yang dia harapkan dari organisasi.

Sebenarnya, persepsi negatif dari internal pegawai Bea Cukai dapat diminimalisasi dengan memberikan konteks atau tujuan permintaan maaf yang disampaikan.

Permintaan maaf tersebut seharusnya ditekankan bukan mengenai pengenaan pajaknya, karena hal tersebut sudah diatur secara jelas dalam ketentuan yang berlaku.

Justru, ini adalah kesempatan bagus bagi Kementerian Keuangan untuk memberikan edukasi pada masyarakat soal ketentuan pajak impor barang kiriman.

Permintaan maaf dari pimpinan Kementerian Keuangan lebih tepat disampaikan dalam konteks sikap pegawai yang masih dipandang kurang baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dari permasalahan di atas, setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan oleh Kementerian Keuangan dalam upaya mengembalikan kepercayaan publik tanpa mereduksi semangat dan komitmen dari pegawainya.

Pertama, organisasi perlu meng-acknowledge pegawai yang memang menunjukkan kinerja dan integritas yang tinggi, dan memberikan penghargaan yang proporsional.

Penghargaan dalam hal ini tidak harus selalu terkait dengan finansial, namun dapat berupa pengakuan akan kinerja pegawai.

Mengambil contoh kasus ini, misalnya, dengan menyatakan kepada publik bahwa pemungutan pajak yang dilakukan oleh pegawai sudah tepat (meskipun dengan catatan terkait cara memberikan pelayanan masih perlu diperbaiki), akan dapat menjaga semangat pegawai untuk terus memberikan kinerja yang terbaik bagi organisasi.

Kedua, Kementerian Keuangan perlu melihat kembali peraturan terkait dengan pajak impor barang kiriman serta pelayanan petugas Bea Cukai.

Kritikan yang disampaikan oleh masyarakat dalam kasus ini bisa menjadi masukan bagi Kementerian Keuangan untuk mengubah poin-poin aturan yang belum sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat.

Pun demikian dengan prosedur layanan dan cara petugas memberikan pelayanan, yang perlu digeser dari paradigma petugas sebagai alat pemerintah dengan segala kewenangannya, ke arah petugas sebagai bagian dari warga negara yang setara dengan masyarakat.

Terakhir, Kementerian Keuangan perlu juga melakukan edukasi secara kontinyu sehingga masyarakat mempunyai pemahaman yang baik akan aturan pajak. Pada akhirnya akan mendorong kepatuhan pajak dari masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com