DI TENGAH tren global deindustrialisasi dini, sektor industri manufaktur kita kembali bangkit dan mengalami peningkatan yang menggembirakan.
Menurut laporan Global S&P pada Mei 2023, Indeks PMI (Purchasing Manager’s Index) Manufaktur Indonesia mencapai 52,7 poin pada April 2023, meningkat dari 51,9 poin pada Maret 2022, dengan poin 50,0 sebagai ambang batas yang memisahkan kontraksi dari ekspansi industri manufaktur.
PMI manufaktur Indonesia secara mengejutkan mampu melampaui Singapura (49,7), China (49,5), Jepang (49,5), Malaysia (48,8), Korea Selatan (48,1), dan Vietnam (46,7). Bahkan PMI manufaktur Indonesia mampu melampaui rata-rata dunia yang sebesar 49,6.
Sementara itu, tren ekspansif juga ditunjukkan beberapa negara lain, yaitu Thailand (60,4), Filipina (51,4) dan Amerika Serikat (50,5).
Sektor manufaktur nasional secara konsisten menunjukkan tren ekspansif selama 20 bulan berturut-turut di tengah ketidakpastian dan dinamika perekonomian global.
Pertumbuhan yang kuat ini didorong oleh lonjakan permintaan baru, serta peningkatan signifikan dalam pembelian barang manufaktur dan inventaris pra-produksi sejak Desember 2021.
Dampak positifnya terlihat pada tingkat penciptaan lapangan kerja yang mencapai puncaknya dalam lima bulan terakhir.
Selain itu, inflasi biaya input pada April 2023 relatif stabil, hanya sebesar 1,1 persen. Ini merupakan tingkat inflasi biaya input terendah sejak November 2020.
Meskipun demikian, biaya produksi mengalami kenaikan tipis sebesar 0,1 persen, dipengaruhi naiknya biaya tenaga kerja dan harga energi.
Walaupun terjadi kenaikan, tingkat inflasi biaya produksi tetap relatif rendah, yaitu sebesar 2,1 persen, yang mencatatkan level terendah dalam 28 bulan terakhir.
Namun, ekspor manufaktur Indonesia turun 1,9 pada April 2023 dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini disebabkan lemahnya permintaan dari luar negeri, terutama dari China, karena permintaannya akan produk Indonesia menurun dalam beberapa bulan terakhir.
Secara keseluruhan, pertumbuhan output yang kuat, penciptaan lapangan kerja yang meningkat, dan stabilitas inflasi biaya input merupakan bukti nyata kemajuan sektor manufaktur.
Jika lajur ekspansif sektor ini tetap konsisten ke depan, bukan tidak mungkin Indonesia mampu membalikkan tren dan terlepas dari deindustrialisasi dini.
Maka, meskipun sektor ini menunjukkan pertumbuhan positif, tidak boleh diabaikan tantangan deindustrialisasi dini yang dapat menghambat pertumbuhan jangka panjang industri.
Menurut Rodrik (2016), deindustrialisasi dini terjadi ketika sektor manufaktur mengalami penyusutan lebih awal, baik dalam proporsi pekerja, nilai tambah, maupun output sektoral, bahkan sebelum mencapai tingkat pendapatan dan perkembangan ekonomi yang lebih maju.