Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Pekerjaan Rumah Pemerintah Sebelum Mendivestasi Vale Indonesia

Kompas.com - 05/06/2023, 11:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KONTRAK Karya (KK) perusahaan tambang nikel asal Kanada di Indonesia, PT Vale Indonesia Tbk (INCO), akan berakhir pada 2025, tepatnya 28 Desember 2025.

Tercatat, Kontrak Karya (KK) PT. Vale sudah mengalami perpanjangan satu kali pada Januari 1996. Adapun kontrak pertama Vale dimulai sejak 1968 lalu. Artinya, sudah lebih dari 50 tahun Vale menambang nikel di kawasan pegunungan Verbeek di Sulawesi, Indonesia.

Namun demikian, mayoritas saham PT Vale Indonesia hingga kini masih dimiliki asing, yakni Vale Canada Limited (VCL) 44,3 persen, dan Sumitomo Metal Mining Co. Ltd (SMM) 15 persen.

Sementara itu, saham murni Indonesia "hanya" 20 persen, yakni dimiliki Holding BUMN Tambang MIND ID. Sisa saham 20,7 persen lagi merupakan saham publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), sehingga belum tentu murni dimiliki Indonesia.

Namun demikian, kepemilikan saham Indonesia di PT Vale Indonesia saat ini bisa dianggap berkisar sebesar 40,7 persen.

Penguasaan 20 persen saham PT.Vale Indonesia baru terjadi tahun 2020 lalu. Ketika itu, Vale Canada Limited (VCL) dan Sumitomo Metal Mining Co., Ltd. (SMM) berhasil menyelesaikan penjualan dan pengalihan 20 persen kepemilikan saham di PT Vale Indonesia Tbk (INCO) melalui Bursa Efek Indonesia, kepada pembeli yang ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia, yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum (sekarang menjadi holding MIND ID - Mining Industry Indonesia).

Saat itu, MIND ID harus mengeluarkan dana sekitar Rp 5,52 triliun atau Rp 2.780 per saham untuk akuisisi 20 persen saham PT Vale Indonesia dari VCL dan SMM. Dari divestasi Vale 20 persen tersebut, sebesar 14,9 persen saham sebelumnya milik VCL, dan 5,1 persen milik SMM.

Dengan semakin mendekatnya masa berakhir Kontrak Karya PT Vale Indonesia, mulai muncul suara-suara untuk segera mendivestasi minimal 10,03 persen saham VCL dan SMM.

Bahkan lebih dari itu, muncul wacana pengambilalihan lahan konsesi yang dimiliki oleh PT. Vale Indonesia, yang tercatat seluas 118.435 hektar, di antaranya yang diutarakan oleh Anggota DPR RI Komisi VII dari Fraksi PKS, Mulyanto, dan pengamat Ekonomi sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, baru-baru ini.

Dengan kata lain, PT Vale harus melepaskan sejumlah saham milik asingnya kepada pihak Indonesia, terutama ketika perusahaan ingin memperoleh perpanjangan kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) di satu sisi atau melakukan divestasi sekaligus tidak mendapatkan perpanjangan kontrak (IUPK) di sisi lain.

Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mana perusahaan asing harus melepas (divestasi) 51 persen sahamnya kepada pihak Indonesia, sebelum melakukan perpanjangan KK.

Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama oleh pemerintah, sebelum mendorong upaya divestasi saham VCL dan SMM di PT. Vale Indonesia, dengan target komposisi minimal 51 persen milik Indonesia (baik BUMN, swasta, dan publik) dan 49 persen milik asing, dan upaya pengambilalihan konsesi lahan milik perusahaan tersebut.

Pertama, belajar dari divestasi saham Freeport, divestasi saham INCO (Vale Indonesia) sebaiknya tidak melalui pembelian saham yang diterbitkan melalui "right issue" oleh PT Vale Indonesia, tapi dilakukan dengan jalan pembelian saham yang dipegang oleh kedua pemilik asing tersebut.

Karena penguasaan saham melalui pembelian saham baru (right issue) tidak mengurangi jumlah lembaran saham yang dipegang oleh pemilik asing. Yang terjadi adalah pengurangan persentase saja (dilusi saham).

Walhasil, pemilik asing akan tetap menerima dividen kurang lebih setara dengan yang mereka terima sebelum saham didivestasi, karena lembaran saham yang mereka pegang tidak berubah, meskipun persentasenya sudah tidak sama lagi.

Hal ini cukup penting digaris bawahi, karena biasanya opsi awal yang akan dimunculkan adalah pembelian saham baru, persis seperti yang terjadi pada PT Freeport Indonesia tempo hari. Mengapa?

Karena opsi semacam ini tidak saja menguntungkan kedua pemilik asing, tapi juga menjadi lahan penghasilan baru bagi perusahaan jasa keuangan (perusahaan sekuritas) yang menangani proses penerbitan saham barunya (Right Issue).

Sementara opsi pembelian saham yang ada atau yang dipegang oleh kedua pemilik asing hanya membutuhkan biaya transaksi saham yang akan dibayarkan kepada perusahaan perantara, tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk aksi "right issue".

Kedua, divestasi minimal sebesar 10,03 persen saham kedua pemilik Asing di INCO (Vale Indonesia) harus diupayakan tidak menggunakan APBN.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com