JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar ekonomi Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat (Sumbar) Prof. Ratni Prima Lita menilai kebijakan pemerintah melarang impor pakaian bekas sudah tepat. Menurutnya, kebijakan larangan impor pakaian bekas ini untuk melindungi industri tekstil di Indonesia.
"Saya rasa sudah tepat sebab jika tetap dibiarkan maka konsumen terus beralih ke produk 'second' sehingga berimbas ke industri tekstil atau produk lokal kita," kata Ratni Prima Lita seperti dilansir dari Antara, Rabu (7/6/2023).
Ratni menilai jika pemerintah fokus pada pengembangan dan melindungi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia, maka langkah tersebut sudah tepat sehingga perlu didukung semua pihak.
Baca juga: ANJT Bakal Tebar Dividen 30 Persen dari Laba Bersih, Cek Jadwalnya
Larangan impor pakaian bekas diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022.
Menurut Ratni, selain merugikan atau berimbas pada UMKM sektor tekstil, impor pakaian bekas yang didatangkan dari berbagai negara tersebut juga dikhawatirkan berimbas pada aspek kesehatan masyarakat.
Sebab, meskipun baju bekas tersebut telah dicuci sebelum digunakan, dikhawatirkan tetap masih menyimpan bakteri atau kuman sehingga menimbulkan berbagai penyakit terutama penyakit kulit.
Baca juga: Hasil Kunker Menperin Agus ke Jepang: Isuzu Bakal Pindahkan Pabrik Truk dari Thailand ke RI
"Jadi, menurut saya lebih baik Permendag Nomor 40 Tahun 2022 itu tetap diberlakukan untuk melindungi produk lokal dan tentunya masalah kesehatan masyarakat tadi," ujarnya.
Kendati mendukung penuh kebijakan pemerintah, Ratni juga mendorong Kementerian terkait untuk mencari solusi agar pedagang pakaian bekas yang selama ini menggantungkan sektor tersebut sebagai mata pencarian tidak gulung tikar atau bangkrut.
Salah satu solusi yang ditawarkannya ialah memberdayakan pedagang pakaian bekas seperti di Pasar Senen Jakarta Pusat untuk beralih memproduksi pakaian baru.
Apalagi, para pedagang tersebut sudah berjualan belasan hingga puluhan tahun sehingga diyakini memiliki pemahaman tentang fesyen. "Berikan atau arahkan pedagang tersebut ke industri fesyen yang selama ini sudah mereka geluti," saran dia.
Baca juga: Menteri PUPR Optimis Pembangunan Dasar IKN Rampung 2024
Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menegaskan bahwa pemerintah tidak akan merevisi aturan mengenai pelarangan impor pakaian bekas yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 40 Tahun 2022.
“Kan sudah dilarang, tidak direvisi. Kita tidak akan pernah merevisi,” kata dia.
Teten menjelaskan bahwa dirinya telah bertemu dengan perwakilan pedagang pakaian Pasar Senen dan menyampaikan bahwa penjualan pakaian impor bekas dilarang oleh undang-undang.
Baca juga: Zurich dan BNP Paribas Dikabarkan Bakal Akuisisi Astra Life
Teten menegaskan jika pemerintah mampu menutup pintu masuk pakaian impor bekas dengan membasmi importir ilegal, maka permintaan akan pakaian bekas bisa diganti dengan produk lokal.
KemenKopUKM pun sebelumnya telah menawarkan pedagang untuk mengganti barang dagangan dengan pakai lokal dan pemerintah akan menjembatani pedagang dengan produsen pakaian lokal.
“Kan sebelumnya juga saya sudah kumpulin asosiasi pertekstilan, termasuk asosiasi konveksi. Mereka bilang pedagang Senen itu jualan pakaian produk mereka, sekarang udah enggak ambil lagi sehingga mesti kalah bersaing dengan pakaian bekas ilegal. Itu kan murah banget Rp 35.000, ongkos produksi enggak dapat,” ucapnya.
Baca juga: Premi Industri Asuransi Turun Jadi Rp 101,34 Triliun, Ini Penyebabnya
Sebelumnya, Himpunan Pedagang Pakaian Impor Indonesia (HPPII) bersama pedagang baju bekas impor (thrifting) berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Perdagangan, Selasa (6/6/2023).
Berdasarkan pantauan Kompas.com, unjuk rasa tersebut dihadiri kurang lebih 60 aktivis dan pedagang pakaian bekas impor.
Adapun para pedagang baju bekas impor ini menyampaikan 7 tuntutan kepada Kemendag, sebagai berikut:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya