Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Utang Pemerintah Rp 179 Miliar yang Ditagih Jusuf Hamka

Kompas.com - 08/06/2023, 19:03 WIB
Rully R. Ramli,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan tanggapan terkait pernyataan pengusaha kawakan, Jusuf Hamka, yang menagih utang atas perusahaannya PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) ke pemerintah.

Dalam dokumen kesepakatan antara pemerintah dengan CMNP yang ditandatangani pada 2016 disebutkan, pemerintah sepakat untuk membayarkan Rp 179,5 miliar ke CMNP. Pembayaran itu seharusnya dilakukan pada semester pertama 2016 dan semester pertama 2017. Namun, Jusuf Hamka bilang, pembayaran tersebut tak kunjung dilakukan.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, pemerintah melalui Kemenkeu sudah memberikan tanggapan terkait penagihan utang tersebut. Respons ini disampaikan oleh Biro Advokasi Kemenkeu ke pengacara yang ditunjuk CMNP.

Baca juga: Jusuf Hamka Tagih Utang ke Pemerintah, Kemenkeu Beri Penjelasan

Yustinus juga membenarkan adanya kewajiban pemerintah untuk mengembalikan dana ke CMNP. Hal ini sebagaimana putusan gugatan pengadilan yang dimenangkan oleh CMNP.

Namun, Kemenkeu menilai, putusan tersebut mengakibatkan beban pengeluaran keuangan negara, maka pelaksanaan putusan tersebut harus memenuhi mekanisme pengelolaan keuangan negara berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara, terutama prinsip kehati-hatian.

"Untuk itu, perlu terlebih dahulu dilakukan penelitian baik dari sisi kemampuan keuangan negara dalam rangka menjaga kepentingan publik yang perlu dibiayai negara maupun penelitian untuk memastikan pengeluaran beban anggaran telah memenuhi ketentuan pengelolaan keuangan Negara," tutur Yustinus kepada Kompas.com, Kamis (8/6/2023).

Baca juga: Respons Sri Mulyani, Pemerintah Ditagih Utang Rp 179 Miliar oleh Jusuf Hamka


Sejarah

Lebih lanjut Yustinus menjelaskan, kewajiban pembayaran pemerintah itu bermula dari penempatan deposito CMNP di Bank Yama yang dilikuidasi pada krisis 1998.

Kala itu, CMNP tidak menerima dana depositonya dari penjaminan pemerintah. Yustinus bilang, hal itu disebabkan CMNP dan Bank Yama dimiliki oleh nama yang sama yakni Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto.

"Maka ketentuan penjaminan atas deposito CMNP tersebut tidak mendapatkan penjaminan pemerintah karena ada hubungan terafiliasi antara CMNP dan Bank Yama," ujar dia.

Baca juga: Kemenkeu: Pasir Laut Kecil Kontribusinya...

"Sehingga permohonan pengembalian ditolak oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan penyehatan perbankan," sambungnya.

Tidak terima dengan keputusan tersebut, CMNP mengajukan gugatan terhadap pemerintah untuk tetap mengembalikan dana deposito. Gugatan tersebut pada akhirnya dikabulkan, sehingga pemerintah harus membayar dana beserta bunga dan denda ke CMNP.

"Negara dihukum membayar dari APBN untuk mengembalikan deposito CMNP yang disimpan di bank yang juga dimiliki pemilik CMNP," kata Yustinus.

Baca juga: Cerita Jusuf Hamka Pernah Ngemplang Pajak 35 Tahun, Ikut Tax Amnesty Setor Rp 55 Miliar

Berdasarkan putusan hukum Mahkamah Agung (MA) pada 15 Januari 2010, pemerintah diwajibkan untuk membayar deposito berjangka senilai Rp 78,84 miliar dan giro Rp 76,09 juta. Selain itu, pemerintah juga harus membayar denda 2 persen setiap bulan dari seluruh dana yang diminta CMNP.

Akan tetapi, pada akhirnya pemerintah dan CMNP sepakat untuk membayar pokok dan denda dengan total nilai Rp 179,5 miliar.

Baca juga: Alokasi Dinaikkan, Kemenkeu Targetkan Raup Rp 150 Triliun dari Penerbitan SBN Ritel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com