PINJAMAN online atau Pinjol pada dasarnya adalah praktik rentenir. Bisa dikatakan bahwa praktik ini cenderung mencekik para peminjamnya.
Dalam bentuk dan tawaran apapun, praktik rentenir akan selalu berdampak pada kerugian bagi peminjam, baik itu kerugian materiil maupun non-materiil.
Belakangan, mulai banyak bermunculan kasus-kasus pembunuhan atau bunuh diri yang setelah disediliki oleh aparat penegak hukum atau berdasarkan informasi dari orang-orang terdekat korban atau pelaku, rupanya mereka adalah para korban “keganasan” rentenir dalam wujud pinjol.
Entah itu legal apalagi ilegal, praktik pinjol tentunya ditujukan untuk memberikan keuntungan bagi pemodalnya.
Mirisnya, ketika para korban pinjol mulai kesulitan mengembalikan pinjamannya, maka yang muncul ke permukaan adalah niat untuk bertindak kejahatan, entah itu mencuri, merampok, bahkan sampai membunuh orang lain atau juga bunuh diri karena sudah tidak kuat menahan tekanan hidup dan tanggungan utang pinjolnya.
Fenomena mengerikan. Apalagi korban pinjol kebanyakan dari kalangan generasi muda, yang selaiknya lebih waspada dan lebih melek literasi. Toh, nyatanya tidak selalu demikian.
Literasi keuangan generasi muda di negeri ini ternyata relatif rendah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa pengetahuan generasi milenial akan pengelolaan keuangan yang masih minim membuat mereka sulit untuk mengatur keuangannya (sikapiuangmu.ojk.go.id).
Di sisi lain, Nigntyas (2019) menyatakan bahwa kurangnya literasi keuangan dapat berdampak pada pembuatan keputusan yang salah dalam kehidupan sehari-hari.
Dampaknya adalah perilaku masyarakat yang rentan akan krisis keuangan dan berpotensi mengalami kerugian akibat kejahatan di sektor keuangan (Jurnal Ilmiah Bisnis dan ekonomi Asia, volume 13 no.1, hal.20-27).
Hal senada juga diungkapkan dalam riset bahwa generasi muda Indonesia memiliki literasi keuangan yang rendah (idntimes.com, 23 Agustus 2021).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.