Oleh: Gatot Irianto dan Laras Wuri Dianingrum*
EL NINO sudah sering terjadi dengan besaran (magnitude) intensitas, durasi dan frekuensinya semakin meningkat menurut ruang (spasial) maupun waktu (temporal).
Indikasi konkretnya di lapangan ditandai kelangkaan air minum, kelangkaan air irigasi, kekeringan, puso/gagal panen, kebakaran hutan dan lahan.
El nino di daerah endemik kekeringan meningkat ekstrem. Bahkan saat el nino kuat, wilayah yang biasanya airnya cukup dan dikenal sebagai daerah basah juga mengalami kekeringan.
Harga pangan pokok terutama beras melambung, liar, dan tidak terkendali, sehingga mengerek/mendongkrak jumlah penduduk miskin semakin bertambah dan penduduk yang sudah miskin menjadi ekstrem miskin.
Saat el nino kuat, rakyat miskin sudah jatuh tertimpa tangga dan makin tidak berdaya. Itulah sebabnya, setiap ada peringatan kemungkinan terjadinya el nino, pemerintah buru-buru memutuskan mengimpor beras dengan berbagai pembenarannya, tanpa memikirkan dampak negatifnya terhadap distruksi harga beras domestik dan pendapatan petani.
Padahal, sebagai karunia Allah, el nino itu sesungguhnya berkah apabila mampu dikelola dengan bijaksana.
Pemerintah paranoid dan selalu berargumen tidak mau mengulangi sejarah runtuhnya rezim orde lama dan orde baru yang dipicu dan diakselerasi oleh terjadinya bencana kekeringan dahsyat (el nino kuat), sehingga terjadi gagal panen, harga bahan pangan melambung dan rakyat menjerit serta turun ke jalan menurunkan pemerintah yang berkuasa.
Tentu banyak faktor determinan yang memicu dan memacu jatuhnya suatu rezim di luar el nino.
Pertanyaannya fundamentalnya, mengapa pemerintah bersama DPR tidak mengambil pelajaran mahal atas runtuhnya rezim orde lama dan orde baru dengan memanfaatkan el nino sebagai peluang meningkatkan produksi?
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.