SEJAK Wuhan, China, dilanda Covid 19 yang berdampak pada negara-negara lain di dunia, maka perekonomian mengalami stagnasi di berbagai sektor. Tak terkecuali Indonesia.
Dampak Covid 19 sangat dirasakan oleh semua negara karena memberhentikan aktivitas perekonomian yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan.
Di dunia di mana pandemi Covid 19 telah berdampak buruk pada perdagagangan konvensional dan aktivitas ekonomi, sehingga perdagangan digital dan layanan yang dimungkinkan secara digital dapat menjadi sumber pertumbuhan dan kesejahteraan masa depan.
Namun peluang baru ini menjadi tantangan cukup serius bagi pengambilan kebijakan perdagangan. Salah satu yang menjadi masalah karena perdagangan digital tidak dapat dipisahkan dari “Kerangka Tata Kelola Data”.
Kontribusi perdagangan digital terhadap pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja sangat besar. Perkembangan akun yang pesat tidak terlepas dari pandemi Covid-19 yang membatasi mobilitas dan kontak fisik sehingga mendorong banyak orang untuk memiliki akun dan dapat bertransaksi secara digital.
Hal ini juga dirasakan di Indonesia di mana penggunaan keuangan digital meningkat, khususnya untuk transaksi dalam e-commerce.
Perubahan radikal yang disebabkan oleh digitalisasi memerlukan respons kebijakan baru di banyak bidang, terdapat juga tantangan unik dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan perdagangan yang baik untuk ekonomi digital.
Ada dua faktor utama yang menjadikan pembuatan kebijakan perdagangan digital berbeda dari apa pun yang biasa kita lakukan.
Pertama, perdagangan digital secara intrinsik terkait dengan aliran data lintas batas, suatu wilayah dengan eksternalitas jaringan positif yang sangat besar. Fitur ini menyebabkan persaingan internasional mengenai standar tata kelola data.
Saat ini dunia terpecah menjadi tiga wilayah digital yang dipimpin oleh AS, UE, dan Tiongkok, yang masing-masing menerapkan pendekatan berbeda terhadap tata kelola data pribadi dan tampaknya tidak mau banyak berkompromi.
Situasi dunia digital yang berbeda-beda, pada gilirannya, menghadirkan dilema bagi negara-negara dengan perekonomian menengah seperti Inggris.
Keinginan melakukan perdagangan secara digital dengan semua pemain utama untuk mencapai skala wajar mengharuskan pembuatan kebijakan di negara-negara kecil untuk mengelola dan, jika mungkin, merekonsiliasi sikap peraturan yang berbeda.
Kedua, perdagangan digital didorong oleh kemajuan pesat teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), yang telah menjadi agenda utama dalam inovasi dan kebijakan di banyak negara.
Dasar-dasar teknologi ini menjadikan perbedaan antara kebijakan publik nasional dan kebijakan perdagangan internasional semakin kabur, karena dua alasan.
Fitur data yang tidak lazim menimbulkan kekhawatiran yang perlu ditangani dari berbagai bidang kebijakan publik seperti perlindungan konsumen, kebijakan persaingan, keamanan siber, dan hak kekayaan intelektual.
Sekarang teknologi seperti artificial intelligence begitu luas dan mendalam sehingga, tanpa diskusi nasional yang mendalam, pemerintah tidak akan mempunyai gagasan yang jelas tentang apa yang mereka perlukan dalam mengatur aktivitas digital.
Secara keseluruhan, terlibat dalam perundingan internasional yang mengikat adalah hal yang berisiko, karena terdapat bahaya jika menyetujui ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai dengan pandangan lokal.
Strategi yang perlu dilakukan di antaranya:
Perlunya sinergi dan harmoniasi kebijakan yang terkait dengan inkulusi keuangan digital. Penegakan regulasi khususnya bagi perusahaan/lembaga keuangan digital ilegal serta pemerataan infrastruktur digital.
Promosi dan kampanye pentingnya adopsi dan perluasan penggunaan QRIS yang menargetkan lebih banyak usaha, khususnya UMKM.
Perlunya literasi keuangan digital kepada masyarakat. Transformasi digital bagi UMKM berupa digital process innovation, digital product innovation, dan digital business model innovation.
Lembaga keuangan memberikan pelatihan bisnis dan keuangan digital bagi UMKM serta pemberian kredit modal bagi UMKM binaan.
Sosialisasi terkait dengan kemudahan akses layanan keuangan secara digital dapat melalui media cetak, elektronik, hingga media sosial.
Memberikan subsidi kepada UMKM untuk pengembangan transaksi digital bagi UMKM.
Bank dan lembaga keuangan lainnya diharapkan dapat lebih menjalin hubungan atau kerja sama dengan pihak ketiga untuk meningkatkan pembayaran nontunai pada usaha retail atau besar di Indonesia, misalnya dengan memberikan diskon jika membayar menggunakan non-tunai, e-money atau dompet digital.
Hubungan atau kerja sama tersebut juga harus diterapkan pada pasar tradisional, toko besar, maupun toko kecil.
Transfer ke daerah dalam bentuk bantuan kepada masyarakat kurang mampu dapat dilakukan melalui transfer rekening bank/melalui transfer mobile account sehingga masyarakat kurang mampu dapat menjangkau layanan keuangan.
Memberikan penghargaan kepada lembaga keuangan yang paling banyak digunakan untuk digital transaction.
Jika itu semua bisa dilakukan, maka tidak akan terjadi kecemburuan sosial antarpedagang yang merasa sepi penjualannya seperti, misalnya, penjual di Tanah Abang Jakarta yang menuntut semua bentuk penjual digital ditiadakan.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka menjadi dilema untuk mengembangan digitalisasi kedepan yang merupakan “Blue Print Bank Indonesia di Tahun 2025”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.