Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perangkap Keunggulan Temporer

Kompas.com - 15/07/2013, 11:21 WIB
 
                                     
Rhenald Kasali (@Rhenald_Kasali)

KOMPAS.com - Sebuah berita di harian The Wall Street Journal (11 May 2009) menghentakkan para scholar di bidang strategic management. Kelak berita itu menjadi puncak lahirnya teori baru dalam ilmu bisnis, yaitu temporary advantage.

Judulnya amat menggoda. Hire as They Fire (Many Companies Hire as  They Fire). Ceritanya, ratusan perusahaan di Amerika Serikat kembali melakukan PHK besar-besaran. Apakah itu Boeing, Microsoft, BM, AT&T, Yahoo, maupun Time Warner. Tetapi berbeda dengan situasi sebelumnya, kali ini mereka berbarengan (simultaneously) merekrut besar-besaran saat yang bersamaan.

Itu kisah di tahun 2009 yang masih terus terjadi hingga hari ini. Bedanya, dulu perusahaan melakukan PHK untuk memangkas biaya, kini PHK untuk memperbaharui skill.

Keterampilan Keluar

Hari-hari di Jakarta saya juga tengah menerima titipan sekitar 200 orang kolonel TNI Angkatan Darat. Mereka adalah orang-orang yang telah berjasa pada negara, dan sebagian telah mempertaruhkan hidupnya bagi negeri. Salah seorang diantaranya berkata, “Saya menghabiskan sebagian besar masa muda saya di dalam panser”.  

Mereka telah menjelajahi Indonesia, menjalani penempatan di berbagai pelosok negri. Bahkan sebagian telah mengikuti pelatihan advanced di dalam dan luar negri, dalam bidang pertahanan dan keamanan negara.

Namun seperti judul berita di harian The Wall Street Journal tadi, mereka pun tengah dipersiapkan memasuki karir kedua. Di usia yang sekitar 50 tahunan,seperti para eksekutif lainnya. Orang-orang berjasa ini menghadapi relaita baru bahwa peran Dwi fungsi TNI sudah tidak berlaku lagi. Padahal dulu, mereka dipersiapkan kelak dapat menjadi bupati, walikota atau duduk di fraksi TNI dalam parlemen. Kini semua itu telah berlalu.  

Demikian pulalah yang dihadapi tenaga-tenaga kerja di manca negara, termasuk di sini. Menurut pengamatan saya, jutaan orang yang lahir sepanjang tahun 1955 – 1970 terancam mengalami kesulitan bila tidak memiliki "keterampilan keluar" di era VUCA ini (Volatility, Uncertainties, Complexities dan Ambiguity).  Bukankah ketrampilan yang kita miliki dan pelajari di masa lalu sebagian besar hanyalah "ketrampilan untuk masuk" belaka?  

Ya, masuk kerja, mengikuti arahan atasan, melakukan persaingan dalam industri yang sama, menerima layanan, membuat usaha yang sudah biasa kita lihat, mempertahankan karier, trampil naik ke atas dan seterusnya.

Tapi berapa di antara kita yang memiliki ketrampilan beradaptasi dengan hal-hal yang sungguh-sungguh baru? Ibaratnya, bepergian  ke luar negri tanpa bantuan travel agent, berkolaborasi dengan intens pada kelompok umat beragama yang berbeda dengan keyakinan kita, mengadopsi keterampilan baru yang sama sekali tak ada hubungannya dengan kompetensi yang kita pelajari di usia muda, bahkan berpikir out of the box

Padahal jangankan di bidang usaha yang baru, pada usaha yang sama saja, dewasa ini dituntut berpikir dan bertindak out of the box, out of routine.  Maka itu wajar bila  ini justru memicu keunggulan yang tidak sustainable. Keterampilan-keterampilan lama cepat obsolete (usang), karena kita telah berhenti belajar dan hanya melakukan hal-hal yang sama untuk menghadapi dunia yang sesungguhnya berubah.

Banyak perusahaan membiarkan semua ini terjadi secara terus menerus. Dan itu pula yang terjadi di lembaga-lembaga pemerintahan. Seorang eksekutif sempat menyindir ketika mendengar pidato seorang menteri yang menyilahkan para pensiunan menjadi widyaiswara (pengajar pada pusdiklat kementerian atau BUMN). “Memangnya generasi-generasi baru mau dijadikan ilmu museum?,” ujarnya.

Mereka yang telah berhenti belajar 20 tahun yang lalu, hampir pasti hanya mentransfer ilmu-ilmu yang dipelajari 20 tahun yang lalu kepada karyawan-karyawan baru. Makanya banyak PNS muda yang gayanya mirip-mirip dengan orang-orang tua, baik cara bicara, berpakaian, maupun ilmunya. Ini jelas memerlukan perubahan.

Demikian yang dilakukan banyak perusahaan yang  sustainable. Mereka bukan memecat orang, melainkan meremajakannya. Mereka  tidak mengganti karyawan dengan orang-orang yang sama, melainkan dengan tenaga-tenaga baru. Ini berbeda dengan kebiasaan buruk lainnya yang hanya sekedar mengganti orang dengan keahlian yang serupa.

Maka SDM kita perlu diberikan  keterampilan untuk “keluar” dari perangkap-perangkap (keterampilan lama). Yang saya maksud keluar bukanlah berarti membuang. Melainkan melihat cara-cara baru, dan mengambil pendekatan-pendekatan baru. Anda tak harus berubah dari profesor perikanan menjadi guru besar periklanan, atau dari ahli keuangan menjadi pemasaran, melainkan menemukan cara-cara baru yang lebih sehat.

Kita perlu melatih diri keluar dari kengototan-kengototan adu cerdik dalam lapangan yang sempit. 

Dan bila itu dilakukan, maka sebenarnya tak pernah terjadi  hire as they fire tadi. Toh tua atau muda hanya beda tahun kelahiran saja. Tetapi sungguh, banyak perusahaan kini terperangkap dalam keunggulan sesaat dengan melakukan cara yang masih tetap sama meski konteks yang dihadapi sudah berubah. Seperti bank-bank kecil yang kini megap-megap saat OJK mendorong lahirnya bank-bank yang kuat, besar, dan modalnya harus terus ditingkatkan.

Bisakah bertahan dengan cara kemarin untuk menghadapi hari esok?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com