"Crowdfunding harus dimulai karena Indonesia punya tradisi gotong royong. Seperti dulu kan Pak Harto mengumpulkan pengusaha untuk membantu rakyat miskin," kata Rhenald di Jakarta, Kamis (10/10/2013).
Perusahaan, kata Rhenald, kemudian beralih ke corporate social responsibility (CSR). Perusahaan besar menyisihkan 5-10 persen dari laba untuk CSR. "Ini berjalan, tapi kan juga ada kepentingan dari perusahaan karena mengaitkan dengan segmennya. Perbankan misalnya CSR lewat kredit wirausaha," katanya.
Rhenald mengatakan, crowdfunding dapat mengolaborasi tradisi gotong royong dengan teknologi yang ada saat ini. Misalkan ada sebuah program untuk membantu pengrajin minyak kayu putih tradisional, maka dapat dibantu dengan mempublikasikannya di media sosial atau situs untuk "patungan" membantu sang pengrajin dari segi keuangan.
"Crowdfunding tidak menggantikan bank atau lembaga keuangan formal, tapi salah satu cara untuk orang yang tidak bisa masuk ke lembaga formal. Banyak pengusaha UMKM itu di sektor informal. Mereka tidak punya KTP atau NPWP," kata Rhenald.
Crowdfunding, lanjut Rhenald, bertujuan untuk mendorong partisipasi publik. Masyarakat urunan dan patungan untuk saling membantu sehingga ada keterikatan sebagai satu bangsa. "Ada solidaritas sosial. Kedua, orang yang tinggal di daerah terpencil bisa berkomunikasi. Orang yang punya gagasan bisa bertemu dengan yang punya uang," jelasnya.
Di Indonesia, sebut Rhenald, crowdfunding dapat menggabungkan antara segmen sosial, pelestarian, dan inovasi. Ia yakin crowdfunding akan mudah diimplementasikan, karena masyarakat Indonesia pada dasarnya sudah memiliki tradisi gotong royong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.