Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BUMN Tak Lagi Jadi Aset Negara?

Kompas.com - 17/11/2013, 15:41 WIB
Rahmat Fiansyah

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Apung Widadi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan uji materi (judicial review) terhadap beberapa pasal dalam UU Keuangan Negara dan UU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Apabila MK mengabulkan permohonan uji materi itu, maka negara berpotensi kehilangan aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Pengujian itu ingin memisahkan BUMN dari rezim keuangan negara. Artinya, BPK tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengaudit BUMN," kata Apung di Jakarta, Minggu (17/11/2013).

Ia menuturkan, berdasarkan penelusuran lembaganya pada tahun 2012, ada 140 BUMN dengan total aset mencapai Rp 3.500 triliun. Aset tersebut, katanya, juga terus tumbuh sebesar 15,2 persen per tahun dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2009-2012).

Dengan demikian, negara terancam kehilangan penerimaan non pajak dari perusahaan negara tersebut. "Tahun 2012, negara mendapat sekitar Rp 33 triliun per tahun. Bahkan, diperkirakan tahun 2013 naik menjadi Rp 35 triliun," ujarnya.

Apabila MK mengabulkan gugatan tersebut, ia mengkhawatirkan BUMN akan menjadi sasaran perampokan karena tidak lagi diaudit oleh BPK. Tak hanya itu, apabila terjadi korupsi di lingkungan perusahaan pelat merah itu, pelaku juga tidak bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

"Terlepas dari konsekuensi negatifnya, DPR juga tidak lagi bisa mengawasi BUMN secara langsung karena (BUMN) akan menjadi perusahaan privat," katanya.

Padahal menurut Apung, berdasarkan audit BPK dalam beberapa tahun terakhir, puluhan BUMN berpotensi merugikan keuangan negara sekitar Rp 4,9 triliun dan 305 juta dollar AS. Selain itu, beberapa kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara juga muncul dari lingkungan BUMN.

Apung juga menjelaskan bahwa berdasarkan rangkuman hasil pemeriksaan BPK pada semester awal tahun 2013, BPK menemukan adanya dugaan mark-up penyaluran subsidi di 9 BUMN. Dugaan mark-up tersebut, katanya, mencapai angka Rp 9,03 triliun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com