"Ada beberapa hal yang harus jadi pijakan hukum, pertama bagaimana kita menentukan besaran kerohiman itu. Maka harus ada kajian yang independen," kata Muhammad Hasan, Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, usai rakor di Kemenko, Senin (17/2/2014).
Kajian tersebut, lanjut Hasan, akan dilakukan oleh appraisal independent bersertifikat yang terdaftar di Kementerian Keuangan. Ia menambahkan, pada pekan ini akan dipilih appraisal independent tersebut. Kajian dari konsultan independen ditargetkan rampung akhir Maret 2014.
"Apakah (uang kerohiman) Rp 13 juta per KK atau Rp 29 juta per KK seperti yang diusulkan Provinsi Jabar itu kan semua justifikasi masing-masing. Sebenarnya berapa yang betul-betul diperlukan," sambung Hasan.
Ditemui dalam kesempatan sama, Kepala Bappeda Jabar, Deny Juanda mengatakan, besaran kerohiman Rp 29 juta per KK sebenarnya sudah sesuai standar. Usulan pertama yang sebesar Rp 13 juta per KK, saat itu belum memasukkan persoalan kehilangan mata pencaharian.
"Dengan standar yang ada memang seperti itu (idealnya Rp 29 juta), cuman karena ini kan orangnya sebenarnya tidak punya hak lagi. Ini kan istilahnya dana kerohiman yang tidak ada aturannya di negara, makanya harus ada Perpres itu," terang Deny.
"Usulan pertama Rp 13 juta per KK. Yang Rp 29 juta per KK itu dari Samsat lalu dilegalkan Gubernur Jabar. Alasannya yang Rp 13 juta per KK itu belum dihitung waktu itu soal kehilangan matapencaharian. Di Jakarta kan sama kan kalau pembebasan ada hitungan seperti itu juga," kata Kepala Samsat proyek Waduk Jatigede itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.