Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/02/2014, 09:03 WIB

KOMPAS.com -
Kalau ada negara kaya yang serba salah mengelola kekayaannya, barangkali salah satunya adalah Indonesia. Dari laut, perut bumi, rawa, hingga hutan di gunung-gunung negeri ini, semuanya bisa menghasilkan uang dan energi.

Nyatanya, kekayaan itu tak bisa menyejahterakan 245 juta penduduk Indonesia secara merata. Alih-alih membuat rakyatnya semakin sejahtera, kekayaan alam Indonesia justru menjadi biang kesenjangan pendapatan.

Segelintir orang menguasai sektor strategis dan menjadi konglomerat dengan kekayaan triliunan. Sementara jutaan orang lainnya hidup melarat. Tak perlu mencari orang miskin ke pulau terpencil atau daerah pedalaman. Di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang menjadi barometer perekonomian Indonesia sangat mudah ditemukan warga miskin.

Data yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Januari 2014 menunjukkan, ada 28,55 juta orang miskin pada September 2013. Padahal, pada Maret 2013, jumlah orang miskin tercatat 28,07 juta orang.

Bertambahnya 480.000 orang dalam kemiskinan itu disebabkan kenaikan harga bahan makanan menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Komponen nonbahan makanan, seperti perumahan, sandang, kesehatan, dan pendidikan, ikut berkontribusi terhadap bertambahnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Namun, kontribusinya terhadap garis kemiskinan jauh lebih kecil dibandingkan kontribusi komponen bahan makanan yang mencapai 73,43 persen.

Kenaikan harga BBM menyebabkan inflasi. Inflasi dari Maret hingga September mencapai 5,02 persen. Inilah yang patut kita sebut sebagai negara kaya yang serba salah.

Harga BBM dinaikkan karena jauh di bawah harga keekonomian. Negara terlalu besar menanggung subsidi BBM. Padahal, sebagian besar subsidi itu dinikmati orang-orang yang tidak miskin. Para pemilik mobil, baik yang berkapasitas mesin kecil maupun besar, menikmati subsidi BBM setiap hari. Jadi, keputusan menaikkan harga BBM sudah tepat.

Masalahnya, fondasi perekonomian sebagian besar masyarakat rapuh. Apalagi, masyarakat kelas bawah yang hari-harinya habis untuk bekerja sekadarnya supaya bisa makan. Begitu harga bahan makanan naik, mereka akan terbenam makin miskin. Orang-orang yang semula belum tergolong miskin, lalu ikut terjatuh dalam kemiskinan.

Pemerintah sudah menyiapkan jaring pengamanan sosial bagi warga yang rentan itu. Toh, jaring pengamanan itu jebol juga ketika harga sejumlah bahan makanan naik. Jika jaring itu berfungsi baik, tak ada warga miskin baru ketika harga BBM dinaikkan untuk mengurangi subsidi negara.

Belajar dari krisis ekonomi tahun 1997, sektor usaha kecil dan menengah menjadi penopang fondasi perekonomian Indonesia. Saat itu sektor perbankan dan formal yang digerakkan perusahaan-perusahaan transnasional kolaps.

Kini, pemerintah semestinya segera mendorong sektor usaha kecil dan menengah yang tumbuh di lingkungan warga kelas bawah. Tak perlu menunggu krisis lagi. Sekarang sudah saatnya, walaupun boleh dibilang terlambat. (Agustinus Handoko)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Rilis
INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

Whats New
Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com