Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potensi Pajak Rp 150 Triliun Hilang

Kompas.com - 07/03/2014, 08:01 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany di Jakarta, Kamis (6/3/2014), sepakat potensi penerimaan pajak dari pajak perseorangan atau pribadi belum tergali maksimal. Padahal, potensi penerimaan pajak perseorangan yang belum tergali ini sedikitnya Rp 150 triliun.

Fuad menegaskan hal ini berkaitan dengan ada 19 warga negara Indonesia dalam daftar 1.645 orang kaya dunia dengan kekayaan bersih minimal 1 miliar dollar AS atau setara Rp 11,6 triliun. Total kekayaan 19 WNI ini mencapai 47,65 miliar dollar AS atau setara Rp 571,8 triliun. Sekitar 30 persen dari total belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013. Padahal, APBN ini untuk menghidupi 240 juta warga Indonesia.

Kesenjangan pendapatan ini bisa dikurangi dengan optimalisasi penerimaan pajak, termasuk dari pajak perseorangan yang potensinya masih besar. ”Ada 40 juta warga telah mampu membayar pajak tetapi belum membayar. Potensinya diperkirakan minimal Rp 150 triliun,” ujar Fuad.

”Kendalanya, kita sulit memperoleh data pribadi karena sistem data nasional kita lemah. Sementara data paling valid adalah rekening bank. Cuma kerahasiaan bank itu yang menjadi hambatan. Sementara di negara lain sudah dibuka,” kata Fuad.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan, setiap bank mempunyai kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Pengecualian hanya berlaku untuk pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan.

Saat ini, undang-undang tersebut dalam proses amandemen. Inisiatifnya oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Direktorat Jenderal Pajak, ujar Fuad, menginginkan agar aksesnya diperluas untuk kepentingan pengawasan dan penggalian potensi pajak.
Pegawai pajak minim

Di samping soal data, ujar Fuad, Ditjen Pajak juga kekurangan pegawai. Kecukupan jumlah pegawai pajak penting karena penggalian potensi memerlukan pendekatan pegawai pajak secara langsung.

Jumlah pegawai Ditjen Pajak saat ini 32.000 orang. Namun, yang berhadapan langsung dengan wajib pajak hanya 10.000 orang dari total yang dibutuhkan 60.000 orang.

Ditjen Pajak hanya diberi kuota perekrutan pegawai negeri sipil 250 orang per tahun. Padahal, jumlah pegawai pensiun rata-rata bisa 300 orang. Baru tahun 2013, Ditjen Pajak diberi kuota 2.500 orang. ”Kalau kita tak melakukan terobosan seperti ini, rasio perpajakannya akan 12 persen terus,” kata Fuad.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Kamis, menegaskan, struktur penerimaan pajak Indonesia menunjukkan ada ketimpangan dan ketidakadilan. Menurut teori perpajakan dan riset perpajakan, aspek keadilan akan terpenuhi apabila prinsip ability to pay menjadi dasar, yaitu orang dengan penghasilan lebih tinggi akan membayar pajak lebih besar. Hal ini tecermin dalam Pajak Penghasilan (PPh). Artinya, PPh adalah instrumen yang paling mungkin bagi pencapaian tax justice dan mengurangi kesenjangan.

Menurut Prastowo, rasio pajak di Indonesia juga masih rendah berkisar 12-13 persen. Jauh di bawah rata-rata negara maju dalam Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yakni 35 persen.

Rasio pajak Indonesia juga di bawah standar pembangunan milenium PBB, yakni 24 persen. Indonesia juga masih kalah dengan rasio pajak di Malaysia 17 persen, Thailand 19 persen, dan Korea Selatan 24 persen. Rasio pajak sektoral juga masih timpang. Sektor pertanian, kehutanan, dan perkebunan hanya berkontribusi 1,25 persen dalam 5 tahun terakhir. (LAS/ppg)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com