Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Rokok Malang Desak Menkeu Revisi PMK Cukai

Kompas.com - 17/03/2014, 12:07 WIB
Kontributor Malang, Yatimul Ainun

Penulis


MALANG, KOMPAS.com - Sebanyak 77 pabrik rokok di Malang, Jawa Timur, mendesak Menteri Keuangan, segera meninjau dan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2013 tentang penetapan golongan dan tarif cukai hasil tembakau. PMK 131 itu dinilai membunuh pengusaha rokok kecil menengah.

Tuntutan dari 77 pabrik rokok yang beroperasi di Malang itu tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (FORMASI). Pada 2010 lalu, pabrik rokok kecil menengah di Malang ada 374. Kini tingga 77 pabrik. Karena sudah banyak yang gulung tikar akibat lahirnya PMK Nomor 131 tersebut.

"Formasi mendesak Menteri Keuangan atau pemerintah segera merevisi atau meninjau kembali PMK 131 Tahun 2013 itu," tegas Ketua Harian Formasi, Heri Susianto kepada Kompas.com, Minggu (16/3/2014).

Peraturan yang merupakan revisi dari PMK nomor 78 tahun 2013 itu, jelas Heri, tujuan pemerintah untuk meregulasi afliasi atau hubungan keterkaitan khususnya yang dimiliki pabrikan skala besar tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.

"Sampai saat ini, pihak Kementerian Keuangan belum menghasilkan tindakan nyata semenjak diberlakukan PMK 131 pada bulan September 2013 yang lalu," tegasnya.

Sejak PMK yang telah berjalan sejak lima bulan lalu itu, semua grup afiliasi pabrikan besar, langsung bersiasat untuk menghindari peraturan afiliasi itu. Akhirnya kata Heri, para grup afiliasi tersebut sudah dalam posisi aman dari sisi legalitasnya walaupun ada 1-2 pabriknya yang sengaja dikorbankan masuk ke Golongan 1.

Namun pada kenyataannya, sebagian besar dari grup afiliasi itu, masih aman dan leluasa bermain di golongan rendah. "Tragisnya, yang dibidik oleh pihak Bea dan Cukai adalah kelompok di golongan Kecil Menengah," ungkapnya.

Sebenarnya kata Heri, pabrik kecil menengah sangat mendukung pemerintah dalam mengatur hubungan keterkaitan untuk menciptakan iklim usaha kondusif berlaku disetiap golongan. Baik golongan besar maupun golongan menengah kecil.

"Persoalannya, kini ada praktik yang dilakukan oleh pabrikan besar dengan membentuk afliasi yang bermain di golongan kami. Yaitu, golongan 2 dan 3. Padahal, Formasi telah berjuang sejak 2010 lalu, agar pangsa pasar yang kami miliki di golongan 2 dan 3  tidak terus dicaplok oleh grup afliasi yang dimiliki oleh pabrikan besar," ucapnya.

Sudah empat tahun dengan berbagai perubahan PMK tentang hubungan keterkaiatan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan. "Namun, sampai saat ini belum terlihat hasil yang konkrit, yang dilakukan Kementerian Keuangan," katanya.

Dari itu, Formasi mendesak agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, mengkaji lagi dan merevisi lagi regulasi hubungan keterkaitan agar bisa berjalan lebih efektif, konkrit, ketat dan harus diberlakukan khusus untuk golongan I dan grup afiliasinya.

Bagaimana pemerintah bisa membuat regulasi kepada afliasi yang dimiliki oleh pabrikan besar yang masih bermain di golongan kecil menengah. "Hal itu demi terciptanya kesetaraan usaha antara besar dan menengah kecil. Kita ingin golongan kami steril dari invasi afliasi pabrikan besar," harap Heri.

Jika pemerintah tidak merespon permintaan Formasi, lanjut dia, hal ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap golongan kecil menengah.  Sehingga akan mengancam keberadaan industri rokok kecil dan menengah di Indonesia.

"Jika sudah gulung tikar, sudah mati, puluhan ribu buruh yang selama ini bekerja akan kehilangan pekerjaannya. Pengangguran akan semakin tinggi. Semoga pemerintah bertindak adil dalam menyikapi aspirasi dari pihak industri menengah kecil," harap Heri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com