Ekspor Tiongkok juga turun sebesar 6,6 persen pada periode yang sama karena belum pulihnya perekonomian Amerika Serikat dan Uni Eropa. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, Minggu (13/4/2014), menjelaskan, pemerintah masih melihat secara detail komponen ekspor Indonesia ke Tiongkok yang menurun.
”Sementara ini, yang paling terpengaruh adalah komoditas karet karena pelambatan ekonomi dan impor Tiongkok terkait dengan berbagai jenis investasi, antara lain di sektor otomotif dan elektronik,” kata Bayu.
Ekspor non-minyak dan gas (migas) Indonesia ke Tiongkok pada periode Januari dan Februari 2014 mencapai 3,3 miliar dollar AS atau sekitar 14,29 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia sebesar 11,91 miliar dollar AS. Tiongkok adalah pangsa pasar ekspor nonmigas terbesar dari Indonesia. Setelah Tiongkok, pangsa pasar terbesar ekspor nonmigas Indonesia adalah Amerika Serikat (10,73 persen) dan Jepang (9,79 persen).
”Pelambatan ekonomi dan impor Tiongkok akan berdampak kepada banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, apa yang terjadi di Tiongkok merupakan dampak kondisi ekonomi tahun lalu,” ujar Bayu.
Bayu mengaku masih optimistis bahwa ekspor Indonesia tidak akan terlalu terganggu secara kumulatif tahun 2014. ”Investasi yang terpengaruh di Tiongkok terkait tenaga kerja dan lingkungan di sana. Namun, itu tidak terkait kebutuhan pokok dan energi yang bahan bakunya banyak dari Indonesia,” ujar Bayu.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menuturkan, dampak pelambatan ekonomi dan impor Tiongkok sudah diprediksi sejak beberapa bulan lalu.
”Sejak awal pemerintah merespons perkiraan pelambatan ekonomi dan impor Tiongkok itu dengan diversifikasi negara tujuan ekspor. Namun, diversifikasi negara tujuan dan produk ekspor adalah persoalan yang rumit, tidak sesederhana perkiraan pemerintah,” kata Enny.
Struktur ekspor
Respons Indonesia terhadap pelambatan ekonomi Tiongkok belum terlalu memberi dampak karena Indonesia masih lebih banyak mengekspor komoditas primer. Indonesia mendiversifikasi pasar ekspor antara lain ke benua Afrika, beberapa negara di Timur Tengah, dan Asia. Ekspor ke beberapa negara dengan permintaan bahan baku tinggi terus digenjot. Dalam jangka pendek, peningkatan ekspor komoditas primer itu antara lain ikut berkontribusi pada surplus transaksi perdagangan pada Februari lalu sebesar 785,3 juta dollar AS.
”Surplus perdagangan Indonesia pada Februari lalu terjadi karena ada peningkatan harga komoditas primer. Namun, ini terlalu berisiko karena Indonesia bergantung pada kondisi global,” ujar Enny.
Berkaca dari pelambatan ekonomi dan impor Tiongkok, Indonesia semestinya terus berupaya agar tidak lagi bergantung pada komoditas primer. Indonesia memang tak lagi mengekspor bahan mentah tambang, tetapi ada kecenderungan Indonesia mulai bergantung pada ekspor bahan setengah jadi minyak kelapa sawit mentah (CPO).
”Ketergantungan pada komoditas primer dan bahan setengah jadi yang tidak bernilai tambah tinggi mencerminkan struktur ekspor Indonesia belum kuat. Ekspor akan semakin kuat jika Indonesia lebih banyak mengekspor produk industri,” kata Enny. (AHA)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.