Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beasiswa Rendang di Negeri Orang

Kompas.com - 04/05/2014, 18:22 WIB


Oleh Budi Suwarna

KOMPAS.com - Sebuah panggilan telepon diterima Ahmad Imam M Rais awal tahun 2013. Saat itu, Rais tengah menyiapkan diri berangkat ke Australia untuk melanjutkan studi di program master hubungan internasional di University of Melbourne. Sang penelepon menawarkan beasiswa rendang untuk Rais.

Rais heran mendengar tawaran dari Wildan alias Umed (33) yang baru memulai usaha rendang bermerek Naniko Rendang di Bandung bersama istrinya, Lutfia Putri Rahmadani (29). Maklum, yang namanya bea siswa biasanya berupa dana pendidikan, tiket pesawat, dan dana untuk menutup biaya hidup selama menjalani studi. ”Tapi beasiswa yang ini bentuknya rendang.”

Tanpa pikir panjang, Rais menerima tawaran beasiswa unik itu. Singkat cerita, berangkatlah ia ke Australia dengan bekal beberapa kantong rendang Naniko. Sayangnya, sesampainya di tempat pemeriksaan bea dan cukai di Bandara Tullamarine, rendang yang dikemas seadanya itu tidak lolos. Akhirnya, rendang itu berakhir di tong sampah.

”Sedih sekali. Andai kata rendang itu lolos, saya tidak perlu makan mi terus-menerus di masa-masa transisi saya tinggal di Melbourne,” ujar Rais.

Setahun kemudian, Naniko kembali memberi beasiswa rendang kepada Rais. Kali ini, Naniko mengemas rendangnya dengan kemasan sesuai standar bea dan cukai Australia. ”Saya dapat kiriman 750 gram rendang paru, 750 gram rendang daging, dan 500 gram rendang jengkol,” tutur Rais.

Rais gembira bukan main. Ia bisa makan rendang, termasuk rendang jengkol, di Australia bersama teman-teman. Makanan itu ia makan sedikit demi sedikit hingga cukup untuk dua bulan. ”Lumayan untuk mengatasi kerinduan pada kuliner Indonesia,” ujar Rais.

Sinta Ridwan, mahasiswi Program Doktor Jurusan Filologi Universitas Padjadjaran dan Jurusan Etnolinguistik Universite de La Rochelle, Perancis, juga tercatat sebagai penerima beasiswa rendang Naniko. Alkisah, waktu Sinta ulang tahun, 11 Januari lalu, dia mendapat ucapan selamat dari akun Twitter Naniko. Pesannya kira-kira berbunyi, ”Seandainya ada yang bisa dititipi rendang ke Perancis, saya akan kirim kado rendang buat kamu.”

Maret lalu, ternyata ada dua seniman Bandung yang residensi di La Rochelle, Perancis, yakni Akbar dan Tepu. Tepu yang datang belakangan membawakan rendang beasiswa titipan Umed. Maka, malam itu pun mereka bertiga makan rendang bersama di Perancis yang romantis. ”Nikmatnya tiada tara,” kata Sinta yang studi di Perancis sejak September 2013.

Ali Bakti yang pergi ke Tsukuba, Jepang, untuk melanjutkan studi juga mendapatkan sokongan makanan. Namun, bentuknya bukan rendang, melainkan abon daging sapi produksi usaha rumahan Bon Garoet di kota Garut, Jawa Barat. Ia mendapat bekal 1,5 kilogram abon yang ia konsumsi secara hemat selama tiga bulan.

”Makan abon di Jepang rasanya nikmat sekali. Maklum di Jepang kita jarang menemui masakan Indonesia. Kalaupun ada abon di sini, kehalalannya enggak jelas,” ujar Ali Bakti.

Petualangan abon
ARSIP SRI LESTARI Bon Garoet dengan latar belakang salah satu sudut kota London, Inggris


Selain menyokong mahasiswa, Bon Garoet juga menyokong wartawan yang bepergian ke luar negeri. Mereka mendapatkan satu-dua bungkus abon ukuran 200 gram seharga Rp 60.000-an untuk perjalanan pendek. ”Untuk yang tinggal lama, mereka bisa mendapat abon dua kali. Kalau masih kangen, mereka bisa dapat sekali lagi,” ujar Asep Candra yang memasarkan Bon Garoet secara online.

Sebagai timbal baliknya, lanjut Asep, penerima Bon Garoet diharapkan memotret abon tersebut di luar negeri dan mengunggahnya di media sosial. Hasilnya, kata Asep, Bon Garoet nampang di London dengan latar belakang bus tingkat warna merah khas kota itu. Abon asal kota Swiss van Java itu juga nampang di Chennai, Tokyo, dan Las Vegas. Dengan cara itu, lanjut Asep, Bon Garoet mendapatkan citra global dan petualangan luar negeri. Asep yang tinggal di Bandung mengaku terinspirasi iklan obat masuk angin yang pembuatannya di luar negeri.

”Orang Indonesia itu, kan, menganggap barang yang sudah sampai ke luar negeri pasti bukan produk sembarangan. Obat masuk angin saja perlu bikin iklan di luar negeri, Bon Garoet dengan caranya sendiri juga bisa ’bikin iklan’ di luar negeri ha-ha-ha,” ungkap Asep.

Konsep mempromosikan makanan dengan cara itu, kata Umed, tergolong baru. Umed sendiri mulai menjalankan beasiswa rendang setahun terakhir. Konsep itu ia gali dari pengalamannya berbisnis kaus. ”Anak muda Bandung itu kalau punya usaha pasti saling mendukung. Band, misalnya, di-endorse (disokong) anak muda yang berbisnis kaus dan sebaliknya. Dengan cara itu, kami bisa tumbuh bersama,” tutur Umed.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com