Berbekal kegemarannya membuat kerajinan tangan, ia berhasil memasarkan produk handicraft ke mancanegara. Karyanya saat ini sudah melanglangbuana ke Thailand, Singapura, Korea, Jepang, Jerman, Australia, Belanda, dan Amerika Serikat. Di antara negara-negara tersebut, Jerman menjadi negara terbanyak menyerap produknya. Jepang menjadi negara yang sulit ditembus.
“Saya sangat suka dengan Jepang, karena orang Jepang sangat teliti terhadap produk sehingga terkesancerewet. Tapi bagi saya, lebih baik belajar dari cerewet sampai detail-detail itu, karena kalau sudah dapat menembus Jepang, untuk berkembang secara internasional menjadi lebih gampang,” ujar Irma.
Sampai saat ini Irma telah membuat lebih dari 150 item handicraft. Ada dua kelompok bahan yang ia gunakan untuk kerajinan tangannya, yakni bahan alami dan barang bekas. Yang termasuk bahan alami di antaranya buah mahoni kering, rotan, dan bambu. Sedangkan barang bekas yang ia gunakan di antaranya ban bekas serta kertas koran atau majalah. Dari bahan-bahan itu ia membuat produk kerajinan berupa kap lampu, pigura, keranjang, wadah buah, pohon natal, patung, dan sebagainya.
Untuk pasar ekspor, setiap item produk Irma buat antara 50 – 100 unit. Harga produknya di tangan konsumen berkisar Rp 300.000 – Rp 500.000 per unit. Setiap kali mengekspor ia bisa mengapalkan 1.000 – 2.000 unit. Dari setiap unit produknya, ia mengambil untung sekitar 40 persen dari harga importir.
Tak hanya pasar ekspor, ia pun memasok toko handicraft di pusat perbelanjaan kelas atas di Jakarta, seperti Grand Indonesia, Pacific Place, dan Pendopo. “Untuk produk semacam ini tempatnya mesti eksklusif,” tuturnya.
Berkat pameran
Irma mulai menekuni bisnis kerajinan tangan sejak 2008, setahun setelah ia pensiun dari sebuah bank asing. Produk awalnya berupa taplak meja. Waktu itu tingkat penjualannya terbatas karena hanya dipasarkan di dalam negeri. Ia ingin sekali bisa mengekspor karyanya.
Ia yakin dengan mengekspor handicraft nilai tambah yang ia dapatkan sangat tinggi. Menurut dia, dengan target pasar ekspor ia bisa cepat berkembang. “Kalau pasarnya lokal, kita begini-begini saja,” tegas wanita berdarah Ambon-Manado ini.
Pintu ekspor sedikit terbuka ketika ia mendatangi pameran usaha kecil menengah di Jakarta Convention Center, Jakarta. Di dalam pameran itu ada booth Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI) Kementerian Perdagangan RI. Institusi pemerintah itu memberi pelatihan berbagai hal yang berkaitan dengan ekspor kepada pengusaha yang ingin mengekspor produknya. Ia pun mendaftarkan diri untuk mengikuti pelatihan.
Pada 2010 ia mulai memproduksi handicraft dengan orientasi pasar luar negeri. Di tahun yang sama ia mendapatkan pinjaman lunak PKBL dari Pertamina. Dari sana ia mulai mendapat kesempatan untuk ikut pameran Inacraft. Setelah itu, pameran demi pameran di luar negeri ia ikuti, di antaranya di Korea (September 2010) dan di Perancis (Januari 2011).
Dari pameran-pameran inilah karyanya mulai dikenal di luar negeri dan permintaan mulai berdatangan. “Karena ikut pameran, saya menjadi pede dan bersemangat untuk menghasilkan handicraft,” aku ibu dua orang anak ini.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.