Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anto, Kantongi Puluhan Juta Rupiah dari Piano Jempol Afrika

Kompas.com - 21/08/2014, 11:15 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis


BANYUWANGI, KOMPAS.com
- Banyak yang tidak mengenal alat musik Kalimba asal Afrika bagian Selatan. Alat musik yang terdiri dari kotak suara dengan tuts-tuts logam menempel di bagian atas tersebut banyak di gunakan d Eropa dan Amerika.

Cara memainkannya gampang, tinggal menekan tuts logam hingga mengeluarkan bunyi yang harmonis sehingga Kalimba sering dikenal dengan nama Piano Jempol Ala Afrika. Namun siapa yang menyangka jika alat musik unik tersebut juga di produksi di Dusun Bolot, Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi.

Adalah Suprianto yang mulai memproduksi Kalimba sejak tahun 2004. Kepada Kompas.com, pria yang akrab disapa Anto ini, mengaku,  sebelumnya ia bekerja sebagai seorang sales sejak tahun 1997.

"Setelah menjadi sales saya beralih menjadi perajin anyaman bambu tapi bangkrut hingga akhirnya saya ke Bali. Saya harus membayar utang yang cukup banyak sehingga saya bekerja serabutan," ujanranya.

Saat di kota Dewata itulah, dia berpikir untuk membuat alat musik asal benua hitam tersebut.
"Hingga akhirnya saya terpikir untuk membuat alat musik Kalimba yang saya liat di art shop bali," jelasnya.

Ia lalu memulai membuat Kalimba dengan modal Rp 300.000. "Saya coba-coba sendiri membuatnya. Awalnya ya nggak sepert ini. Sederhana sekali, polosan tanpa hiasan. Lalu saya tawarkan ke art shop di Bali dan di jual dengan harga Rp 7.000 per buah. Hingga akhirnya ada pemesanan lagi sebanyak 600 unit untuk mengisi art shop- art shop yang ada wilayah Bali," jelasnya.

KOMPAS.com/IRA RACHMAWATI Anto, perajin Alat Musik Kalimba
Hingga kemudian,  Anto menerima pemesan Kalimba untuk dikirim ke Jamaika dan Turki. "Minimal satu minggu saya mengirim 4.000 Kalimba ke art shop ke Bali," tambahnya.

Kalimba yang di produksi Anto terbuat dari batok kelapa, kayu Sonokeling serta jeruji sepeda. Setiap bulannya ia membutuhkan sekitar 75.000 tempurung kelapa yang ia pasok dari langganannya dari desa tetangga.

"Saya belinya Rp 1.000 per buah. Harus yang tua dengan diameternya tidak boleh lebih dari 15 sentimeter. Kalau jeruji besi saya beli di toko onderdil sepeda dan memang menggunakan merek khusus yang sudah saya coba-coba sendiri. Nanti jeruji besi ini di pipihkan agar menghasilkan suara yang bagus," katanya.

Anto menjual Kalimba produksinya seharga Rp 20.000 dengan berbagai macam model. "Ada yang berbentuk tempurung biasa, ada yang berbentuk kotak dan juga berbentuk seperti kura-kura. Hasil dari inovasi aja," jelasnya.

Jika sudah sampai di art shop Bali, harga Kalimba dibanderol Rp 60.000. Bahkan jika sudah di Eropa, Asia Tengah dan Amerika harganya terkerek hingga bisa lebih dari Rp 205.000 per buah.

"Banyak yang memesan karena hasil kami bagus bukan seperti lainnya yang terbuat dari triplek. Bisa ribuan unit Kalimba saya kirim keluar negeri tapi tidak bisa memproduksi dalam skala besar diatas 100.000 unit karena kurang modal," jelas lelaki yang kini memiliki 10 orang pegawai tersebut.

Selain Kalimba, Anto juga memprodusi beberapa alat musik lainnya, seperti box drum, alat musik pukul yang berbentuk kayu dengan lubang di tengah dan Jalidu (didgeridoo), terompet khas Australia. Ia menjual box drum Rp 50.000 per unit dan jalidu Rp 150.000.

Kedua alat musik ini juga sudah diekspor ke luar negari. "Kalau box drum hanya ke Finlandia saja sekitar 2.000 unit per tahun. Kalau Jalidu tiap tahun hanya mengirim 600 unit ke Australia, Jerman dan Perancis," katanya.

Dari produksinya itu, ia berhasil mengantongi omzet sampai puluhan juta rupiah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com