Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tim Transisi: Zaman Berubah, Subsidi ala Soeharto Salah

Kompas.com - 07/09/2014, 19:33 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota tim transisi bidang ekonomi Joko Widodo-Jusuf Kalla, Wijayanto Samirin mengatakan, ada yang salah jika pemerintah tetap mempertahankan adanya subsidi bahan bakar (BBM). Empat puluh tahun kondisi antara kebutuhan dan kemampuan negara menyediakan energi fosil telah berubah.

Dia menjelaskan, asal mula pemerintah RI memberikan subsidi BBM adalah sekitar 1970an. Ketika itu, Indonesia mampu memproduksi 1,8 juta barel per hari (bph). Masyarakat saat itu mayoritas miskin, dan tidak banyak mengkonsumsi BBM. Konsumsi BBM masyarakat hanya 280.000 bph.

"Kita surplus banyak sekali. Kemudian ada masalah OPEC, dan yang paling mudah dilakukan pemerintah Soeharto adalah harga minyak diturunkan. Subsidi saat itu sebenarnya bukan untuk membuat harga menjadi murah, namun untuk memberikan benefit ke rakyat," kata dia dalam diskusi bertajuk 'Subsidi BBM: Solusi atau Masalah?', di Menteng, Jakarta, Minggu (7/9/2014).

Lebih lanjut dia mengatakan, 40 tahun kemudian kondisi antara kebutuhan dan kemampuan menyediakan energi berbalik. Kebutuhan saat ini mencapai 1,7 juta bph, sementara produksi hanya 820.000 bph. Bahkan 15 persen dari produksi tersebut adalah milik atau hak kontraktor asing.

"Kondisi berubah drastis. Kalau kebijakan yang ditempuh sama (ada subsidi BBM), berarti ada sesuatu yang salah," imbuh dia.

Wijayanto mengatakan, karakter pemerintahan terlihat dari bagaimana cara mereka menghabiskan anggaran, untuk hal produktif atau tidak. Sayangnya, dia bilang, pemerintah Indonesia adalah satu dari 18 negara yang masih memberikan subsidi BBM. Bahkan, menjadi negara nomer 7 dengan harga BBM termurah.

Dia memaparkan harga BBM di Indonesia sekitar 0,6 dollar AS per liter, China 1,25 dollar AS per liter. Sementara India, negara dengan GDP lebih rendah dibanding Indonesia, harga BBM-nya 1,33 dollar AS per liter. "Filipina harga BBM-nya 1,29 dollar AS per liter, Thailand 1,23 dollar AS per liter, dan Turki 2,5 dollar AS per liter," sambung Deputy Rector for Cooperation and Business Development Universitas Paramadina itu.

Indonesia bukanlah negara produsen minyak dunia, dan juga bukan negara otoriter, namun tetap memberikan subsidi. "Karena negara yang masih memberikan subsidi itu biasanya, pertama dia yang produksi minyak, dan kedua, dia adalah berbentuk otoriter. Pemberian subsidi di negara otoriter ditujukan untuk 'menyuap' rakyatnya agar patuh. Indonesia ini kan negara demokrasi," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com