Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/10/2014, 12:12 WIB

Oleh: Hasbullah Thabrany

KOMPAS.com - Seminggu setelah Presiden Joko Widodo disahkan menjadi presiden ketujuh RI, persoalan subsidi bahan bakar minyak menunggu di depan mata. Kekeliruan nasional dalam mengelola pemerintahan agar tampak populis pada periode sebelumnya, telah meninabobokan rakyat dengan sangat tidak produktif.

Albertus adalah buruh nelayan di Nusa Tenggara Timur yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Tempat kerjanya hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Ia naik kendaraan umum dua kali sebulan untuk belanja.

Karena tergolong miskin, ia mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sampai Rp 200.000 per bulan. Ia dan tiga anaknya juga mendapat bantuan untuk iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per orang Rp 19.225 sehingga total per keluarga mendapat hampir Rp 100.000 per bulan. Hitung-hitung, ia mendapat subsidi Rp 300.000 per bulan.

Ada lagi Ahmad, tukang ojek di kota Bekasi. Ia merasa beruntung memiliki sepeda motor bekas dan bisa mengojek dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 40.000 per hari, atau sekitar Rp 1,3 juta per bulan.

Ia tidak termasuk penerima PKH atau mendapat bantuan iuran JKN. Ia menghabiskan bensin rata-rata 2 liter sehari. Jika dihitung-hitung, ia mendapat subsidi BBM Rp 12.000 per hari atau sekitar Rp 300.000 per bulan. Maka kalau harga bensin naik, berat baginya.

Lalu ada Yasin di Bekasi satu dari sekitar delapan juta penduduk berusia di atas 60 tahun yang tidak memiliki penghasilan. Dulu, ia masih menikmati hasil sawahnya. Kini, sawahnya sudah menjadi perumahan. Ia tinggal di rumah setengah permanen dan sangat bergantung pada belas kasih anak-anaknya. Ia tidak menikmati subsidi BBM sama sekali.

Suparjo adalah pengusaha kecil yang sukses. Ia, istri, dan dua anak remajanya menikmati empat mobil bagus. Sebagai pengusaha, ia tergolong tidak peduli tepat tidaknya subsidi BBM.

Ia membeli bensin yang lebih murah, premium. Sehari, rata-rata, ia sekeluarga membeli 50 liter bensin. Jika besar subsidi per liter Rp 6.000, keluarga Suparjo menerima subsidi BBM 50 x Rp 6.000 = Rp 300.000 per hari. Sebulan, keluarga Suparjo menerima Rp 300.000 x 30 atau Rp 9 juta.

Daniel dan Heryawan adalah pegawai Pertamina dan pegawai PLN. Keduanya menikmati gaji dan tunjangan lain-lain Rp 12 juta per bulan. Ia juga menikmati tunjangan hari raya (THR) hampir Rp 20 juta. Keduanya juga menerima bonus tantiem yang lumayan besar dari keuntungan Pertamina Rp 32 triliun tahun 2014 dan laba PLN Rp 12 triliun semester pertama tahun lalu.

Mengapa Pertamina dan PLN mendapat laba besar dan karyawannya bergaji besar dengan bonus dan tunjangan yang besar pula? Ini karena kedua BUMN menyerap dana subsidi energi yang mencapai Rp 400 triliun tahun ini.

Akar masalah

Entah apa yang salah di negeri ini. Subsidi BBM dianggap keharusan. Baik DPR maupun pemerintah sama-sama memaksakan subsidi. Dalam 10 tahun terakhir, besar subsidi BBM sudah menghabiskan Rp 3.000 triliun lebih.

Selalu saja alasannya kenaikan harga BBM memberatkan ekonomi rakyat. Seolah belanja atau beban ekonomi rakyat hanya untuk BBM. Padahal, semua rakyat makan nasi, tetapi beras tidak disubsidi. Semua rakyat pasti sakit, minimum sekali dalam hidupnya, tetapi hanya sebagian kecil yang dijamin pengobatannya.

Semua anak harus bersekolah, tetapi meski seharusnya pendidikan gratis, ada saja biaya yang dibebankan kepada rakyat. Petani dan nelayan harus membeli kebutuhan rutin seperti beras, lauk-pauk, baju, pupuk, bibit, dan bahkan air. Angkutan umum tidak disubsidi. Padahal, jika 10 persen saja dana subsidi diberikan untuk kereta api, semua orang bisa gratis naik kereta.

Di India, Sri Lanka, Tiongkok, Vietnam, dan Thailand, BBM sama sekali tidak disubsidi. Harga bensin dan solar di negeri itu Rp 12.000-Rp 16.000 per liter. Toh, produk-produk pertanian ataupun industri dari negeri berlimpah di Indonesia. Artinya, daya saing industri dan bisnis tidak kalah. Sebaliknya, hasil tani dan hasil industri Indonesia di negeri-negeri itu nyaris tidak ditemukan.

Jargon subsidi BBM memberatkan industri dan rakyat hanyalah akal-akalan mereka yang selama ini menikmati subsidi puluhan triliun: industri mobil, industri minyak, dan industri energi.

Keberanian menghilangkan subsidi BBM dalam tiga tahun mendatang merupakan solusi terbaik mengoreksi kekeliruan subsidi.

Subsidi seharusnya diberikan untuk beras, pupuk, bibit, pembuatan kapal nelayan, waduk-waduk, membangun angkutan kereta api kota dan antarkota, membangun pelabuhan, membangun jalan, iuran jaminan kesehatan, biaya sekolah, buku, baju seragam sekolah, serta transpor ke sekolah dan perguruan tinggi.
 
Hasbullah Thabrany
Kepala Center for Health Economics and
Policy Studies, Universitas Indonesia

baca juga: SBY Pernah Naikkan Harga BBM, tetapi Subsidi Terus Membengkak...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Spend Smart
Apa Itu 'Cut-Off Time' pada Investasi Reksadana?

Apa Itu "Cut-Off Time" pada Investasi Reksadana?

Earn Smart
Mengenal Apa Itu 'Skimming' dan Cara Menghindarinya

Mengenal Apa Itu "Skimming" dan Cara Menghindarinya

Earn Smart
BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

Whats New
Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Whats New
CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

Whats New
Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Earn Smart
HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Whats New
KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

Rilis
Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Whats New
Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Whats New
Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan 'Daya Tahannya'

Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan "Daya Tahannya"

Whats New
“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com