Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riset: Makin Tinggi Upah Minimum Buruh, Ketimpangan Malah Semakin Besar

Kompas.com - 02/12/2014, 23:35 WIB
Tabita Diela

Penulis

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Penetapan upah minimum provinsi (UMP) yang semakin tinggi ternyata malah berisiko membuat ketimpangan di masyarakat semakin besar. Riset Transformasi--sebuah lembaga kajian kebijakan publik--bersama Profesor Emeritus bidang Ekonomi Universitas Boston, Gustav F Papanek, mendapati risiko itu di Indonesia.

Dalam paparan hasil riset yang diterima Kompas.com pada Selasa (2/12/2014) tersebut, Tranformasi menyebut UMP yang makin tinggi juga berpotensi membuat posisi buruh semakin rentan lantaran daya tarik investasi menjadi berkurang.

"Pesatnya kenaikan upah di sektor industri membuat industri padat karya di Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar global. Akibatnya, impor manufaktur tumbuh pesat, sedangkan ekspor manufaktur tumbuh lebih lambat," tulis Transformasi dalam paparan hasil risetnya itu.

Biaya tenaga kerja yang lebih tinggi, menurut riset itu juga mengakibatkan metode produksi padat karya menjadi kurang kompetitif. "Hasilnya, banyak pabrik lebih memilih meningkatkan penggunaan mesin dan mengurangi tenaga buruh". Gambaran dari risiko itu terlihat dalam data dalam kurun 2008 hingga 2014.

Pengurangan penyerapan tenaga kerja sebagai akibat dari tren tersebut lalu memaksa para buruh mencari alternatif pekerjaan lain. Kecenderungan yang terjadi, para bekas buruh itu terjebak masuk dalam pekerjaan informal yang tidak terikat aturan resmi.

Riset itu pun lalu mendapati, "Karena rendahnya permintaan tenaga kerja di sektor manufaktur, banyak tenaga kerja yang kemudian terdorong masuk ke sektor pertanian dan pekerjaan di sektor informal. Padahal, penghasilan di sektor-sektor tersebut tidak dilindungi oleh kebijakan upah minimum. Akibatnya, penghasilan mereka stagnan, bahkan turun."

Di sisi lain, peningkatan upah minimum juga dinilai hanya dirasakan manfaatnya oleh sebagian kecil buruh di Indonesia. Menurut data BPS pada 2014, dari 118.864.477 buruh di Indonesia hanya 20 persen buruh yang merasakan kenaikan upah. Para "penikmat" kenaikan upah ini umumnya berasal dari kelompok buruh yang bekerja di perusahaan besar.

Selebihnya--sekitar 80 persen buruh--tidak merasakan upah minimum yang ditetapakan pemerintah karena bekerja sebagai buruh tani, pekerja informal, buruh bangunan, buruh tidak tetap, dan pekerja rumah tangga.

"Ini artinya, UMP semakin tinggi, tapi sebagian besar buruh justru makin tak sejahtera karena hanya sedikit yang menerima manfaatnya. Yang terjadi justru ketimpangan penghasilan yang makin melebar,” ujar Papanek, meringkas hasil studinya bersama Transformasi ini.

Direktur Eksekutif Transformasi, Nugroho Wienarto, menambahkan, kenaikan upah minimum tidak serta-merta meningkatkan besaran rata-rata upah tenaga kerja di sektor industri. Pada kenyataannya, ujar dia, kenaikan upah minimum itu justru mendegradasi penghasilan buruh tani dan buruh sektor informal lainnya.

“Mereka sebagian besar tak dilindungi oleh upah minimum. Jumlah orang yang bekerja di sektor tersebut juga makin banyak seiring tak kompetitifnya industri manufaktur kita. Sementara itu, kenaikan upah minimum juga menaikkan angka inflasi. Jadi, upah mereka rendah, masih terkena dampak inflasi pula,” papar Nugroho.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Whats New
Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Whats New
Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Whats New
Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-'grounded' Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-"grounded" Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Whats New
ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

Whats New
Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Whats New
Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Whats New
ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

Whats New
Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Insiden Kebakaran Mesin Pesawat Haji Garuda, KNKT Temukan Ada Kebocoran Bahan Bakar

Whats New
Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Kemenperin Pertanyakan Isi 26.000 Kontainer yang Tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak

Whats New
Tingkatkan Akses Air Bersih, Holding BUMN Danareksa Bangun SPAM di Bandung

Tingkatkan Akses Air Bersih, Holding BUMN Danareksa Bangun SPAM di Bandung

Whats New
BEI: 38 Perusahaan Antre IPO, 8 di Antaranya Punya Aset di Atas Rp 250 Miliar

BEI: 38 Perusahaan Antre IPO, 8 di Antaranya Punya Aset di Atas Rp 250 Miliar

Whats New
KAI Services Buka Lowongan Kerja hingga 25 Mei 2024, Simak Kualifikasinya

KAI Services Buka Lowongan Kerja hingga 25 Mei 2024, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Anggaran Pendidikan di APBN Pertama Prabowo Capai Rp 741,7 Triliun, Ada Program Perbaikan Gizi Anak Sekolah

Anggaran Pendidikan di APBN Pertama Prabowo Capai Rp 741,7 Triliun, Ada Program Perbaikan Gizi Anak Sekolah

Whats New
Bantah Menkeu soal Penumpukan Kontainer, Kemenperin: Sejak Ada 'Pertek' Tak Ada Keluhan yang Masuk

Bantah Menkeu soal Penumpukan Kontainer, Kemenperin: Sejak Ada "Pertek" Tak Ada Keluhan yang Masuk

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com