“Tidak ada investasi. Kalau sarannya tim (Tim Anti-Mafia Migas), fokus ke RON92 (Pertamax). Fokus saja ke situ sampai pabrik ini jalan. Tidak ada investasi,” kata Riki F Ibrahim, Direktur PT Tuban Petrochemical Industries, perusahaan induk TPPI, di Jakarta, Senin (29/12/2014) malam.
Usai bertemu dengan Tim-Anti Mafia Migas--rebutan lain untuk Tim Reformasi Tata Niaga Migas--Riki mengatakan TPPI memang sudah satu tahun tak berproduksi. Namun, kata dia, Pemerintah melalui PT Pertamina tak butuh banyak investasi untuk menghidupkannya lagi.
Dalam posisi "mati suri", kata Riki, kilang tetap dirawat demikian pula penggajian pegawai tetap dipenuhi. “Terus berdarah-darah kami lakukan itu. Untuk apa? Agar aset negara kita jaga,” imbuh dia.
Riki enggan menyebutkan berapa biaya yang harus dikeluarkan jika Pertamina ingin mengakuisisi PT Tuban Petrochemical Industries. Namun yang jelas, investasi yang dibutuhkan untuk membangun kilang selevel TPPI setidaknya butuh dana sekitar 2,4 miliar dollar AS--sekitar Rp 30 triliun.
“Itu investasinya untuk membangun itu (TPPI). Tapi kalau mengakuisisi PT Tuban Petrochemical Industries, tidak sebesar itu. Dan Pertamina sudah mendapatkan TPPI mayoritas, Polytama, dan juga PON. PON udah memberikan dividen kepada pemerintah,” jelas Riki.
Ditemui di tempat sama, Ketua Tim Anti-Mafia Migas Faisal Basri menyebutkan kilang TPPI bisa segera diambil alih oleh Pertamina. Dari penjelasan Riki, ujar dia, pemilik lama tak lagi terlibat dalam manajemen TPPI.
Pemilik lama TPPI adalah Honggo Wendratmo. Jika kilang ini bisa kembali berproduksi, kata Faisal, pasokan Pertamax dari dalam negeri bisa bertambah hingga 46.000 barrel per hari.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.