Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyikapi Dinamika Rupiah

Kompas.com - 07/02/2015, 15:00 WIB


Oleh:

KOMPAS.com - DALAM dua dekade terakhir ini terjadi peningkatan saling ketergantungan antarnegara di dunia. Tidak hanya arus perdagangan, arus aliran modal internasional juga semakin meningkat.

Yang juga menarik, perkembangan ini disertai dengan kecenderungan negara- negara di dunia untuk membiarkan mata uangnya lebih mengambang. Hal ini tidak berarti bahwa penentuan nilai tukar diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Perkembangan ini menimbulkan beberapa pertanyaan: bagaimana sistem nilai tukar ini memengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah.

Nilai tukar bagi suatu negara merupakan suatu sinyal akan memengaruhi insentif semua kegiatan dalam perekonomian. Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing relatif terhadap rupiah, nilai rupiah juga dipengaruhi oleh dinamika faktor- faktor eksternal yang berada di luar kontrol pemerintah ataupun otoritas moneter di Indonesia. Suka tidak suka, mata uang dollar AS masih menjadi tolok ukur bagi mata uang lainnya, baik karena fungsinya sebagai alat likuid internasional maupun sebagai tempat berlabuh (safe haven) bagi investor dunia.

Faktor-faktor eksternal

Pelemahan nilai mata uang rupiah yang terjadi belakangan ini, yang sempat menyentuh kisaran Rp 13.000 per dollar AS, sebagian merupakan konsekuensi dinamika faktor-faktor eksternal. Pasar keuangan internasional diwarnai penguatan dollar AS secara global setelah berakhirnya stimulus perekonomian AS pasca krisis keuangan global 2008 (quantitative easing) oleh bank sentral AS  (Federal Reserve atau The Fed) dan munculnya ekspektasi kenaikan fed fund rate. Pada saat bersamaan, pelambatan ekonomi terjadi secara merata pada negara industri utama negara kawasan Eropa, Jepang, Tiongkok, dan India.

Pelambatan ekonomi mendorong harga komoditas, termasuk minyak, terus mengalami penurunan. Penurunan permintaan terhadap minyak tidak saja dari pelambatan ekonomi dunia, tetapi juga datang dari substitusi penggunaan minyak serpih (shale oil) oleh AS.

Faktor lain penyebab turunnya harga minyak adalah kombinasi antara sanksi ekonomi negara-negara barat terhadap Rusia sebagai pengekspor minyak bumi terbesar kedua di dunia akibat konflik di Ukraina dan usaha Arab Saudi melalui OPEC untuk membuat produksi minyak dari shale oil menjadi tidak ekonomis lagi dengan membuat harga minyak di bawah 60 dollar AS per barrel.

Penurunan harga minyak dan komoditas berlanjut mendorong pengalihan dana dari komoditas ke mata uang dollar AS sebagai mata uang safe haven currency. Penguatan dollar AS terjadi secara seragam terhadap hampir semua mata uang beberapa negara. Secara umum, mata uang kuat dunia (hard currency) melemah lebih besar dibandingkan dengan negara berkembang mengingat pelambatan ekonomi lebih dalam terjadi pada negara industri utama.

Perekonomian domestik

Perekonomian domestik ditandai dengan defisit neraca berjalan yang mendorong rupiah terus melemah. Defisit  neraca berjalan tersebut menggambarkan pemenuhan kebutuhan dollar AS yang besar untuk pemenuhan pembayaran impor barang dan jasa yang tidak dicukupi oleh ekspor barang dan jasa serta  arus masuk pasar keuangan yang bersifat jangka pendek. Defisit neraca berjalan tersebut sebagai potret kondisi struktural ekonomi dalam negeri yang masih memerlukan banyak pembenahan ke depan.

Dari sisi produksi, perekonomian domestik mengalami permasalahan struktural berupa tingginya biaya produksi di dalam negeri, seperti biaya logistik, tata niaga tidak efisien, serta birokrasi yang mahal, membebani sektor bisnis. Ekonomi biaya tinggi juga menghambat keterlibatan industri dalam negeri pada jaringan distribusi internasional. Sebagai konsekuensinya, harga barang domestik menjadi relatif mahal sehingga tidak kompetitif, baik di pasar ekspor maupun bersaing dengan produk-produk sejenis yang berasal dari impor. Industri manufaktur dalam negeri mempunyai ketergantungan impor yang tinggi karena bagi pengusaha, mengimpor bahan baku dan setengah jadi lebih murah dan tidak memusingkan dibandingkan dengan mengembangkan industri pendukung. 

Neraca perdagangan  migas yang sebelumnya mencatat surplus sebenarnya hanya merupakan refleksi dari kenaikan harga komoditas di pasar internasional yang memberikan gambaran semu daya saing perekonomian domestik yang cenderung mengandalkan ekspor komoditas primer dan meninggalkan barang-barang manufaktur padat karya yang daya saingnya semakin tergerus dengan ekonomi biaya tinggi. Ketergantungan ekspor komoditas primer menjadikan neraca nonmigas rentan terhadap penurunan harga komoditas pasar internasional hingga ekspor mengalami penurunan.

Ketika boom komoditas primer berhenti, surplus berubah menjadi defisit akibat impor yang terus meningkat. Berkembangnya masyarakat kelas menengah dalam negeri dengan daya beli yang cukup telah mengubah permintaan dalam negeri menuju arah permintaan barang-barang tahan lama yang dapat dinikmati dan dipamerkan kepada orang lain, seperti telepon genggam, TV layar datar, dan kendaraan bermotor.

Di negara-negara Barat, kebangkitan kelas menengah ini yang dimanfaatkan industri merupakan sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Di Indonesia, karena struktur industri yang dangkal, permintaan masyarakat kelas menengah bermuara pada impor sehingga potensi pertumbuhan tidak dapat dimanfaatkan sebaiknya-baiknya. Beberapa produk impor seperti barang modal, barang setengah jadi dan bahan baku memang vital. Namun, masih banyak produk yang dapat dihasilkan di dalam negeri dan tidak perlu diimpor, seperti makanan, barang sandang, bahkan beberapa jenis alat transportasi, seandainya iklim usaha di dalam negeri termasuk logistik lebih kondusif.

Halaman:
Sumber KOMPAS
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Jumlah Investor Kripto RI Capai 19 Juta, Pasar Kripto Nasional Dinilai Semakin Matang

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com