Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPPU Cium Pemain Beras Ada di Pedagang Besar Lokal

Kompas.com - 02/03/2015, 11:11 WIB
Estu Suryowati

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencium permainan beras dilakukan oleh pelaku di level tengah, namun bukan pedagang besar nasional, melainkan pedagang besar atau spekulan di masing-masing daerah atau lokal.

Komisioner KPPU Syarkawi Rauf mengatakan, indikasinya yakni kenaikan harga beras di tiap-tiap daerah berbeda-beda. Di DKI Jakarta harga beras naik 30 persen, sedangkan di Jawa Barat harga beras naik hanya 10 persen.

Sementara itu di Makassar harga beras naik antara 10-15 persen, dan di Samarinda harga beras naik hingga 20 persen. Indikasi kedua, dalam beberapa minggu terakhir perdagangan beras antar pulau berkurang. Misalnya, kata dia, tidak ada pengiriman beras dari Jawa Timur ke Samarinda, begitu pula pengiriman dari Sulawesi Selatan. Akibatnya, Samarinda yang bukan sentra produksi mengalami kenaikan harga beras hingga 20 persen.

Syarkawi menjelaskan, dengan struktur pasar yang oligopolis dimana hanya segelintir pelaku yang menguasai penggilingan dan perdagangan besar, spekulasi paling mungkin terjadi di level tengah dari proses mata rantai di perberasan. Adapun yang dimaksud dengan kartel adalah persekongkolan untuk bersama-sama menetapkan harga, menetapkan produksi, dan membagi wilayah pemasaran.

“Apakah kecenderungan (kartel) ini ada? Mengidentifikasi (indikasi) itu semua, indikasi yang mengarah ke koordinasi penetapan harga tidak ada. Kenaikan harga beda-beda, di Jakarta harga naik 30 persen, di Jawa Barat 10 persen, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan lebih rendah. Bisa saja ada spekulan lokal,” kata Syarkawi dalam diskusi, akhir pekan lalu.

Syarkawi memastikan, kegiatan kartel biasanya berupa persekongkolan. Jika spekulasi dilakukan individual tanpa koordinasi antara satu pemain dan pemain lain, KPPU tidak mendefinisikannya sebagai kegiatan kartel. Syarkawi bilang, spekulasi individual merupakan respons yang dilakukan oleh masing-masing pengusaha terhadap kecenderungan yang ada di pasar.

“Misalnya terjadi hujan, semua orang bawa payung. Orang enggak perlu janjian untuk bawa payung, karena responnya langsung sama. Itu kartel bukan? Bukan kartel, karena (itu merupakan) individual response yang dilakukan masing-masing individu,” ujar Syarkawi.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Srie Agustina menuturkan, ada empat faktor yang menentukan instabilitas harga beras. Pertama, permintaan-pasokan. Mundurnya masa tanam-panen menyebabkan pasokan berkurang. Kedua, nilai tukar yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk menambah pasokan dari impor. Ketiga, persoalan distribusi, dan keempat adanya spekulasi.

“Dengan panen mundur dan sebagainya, ada pedagang yang membeli lalu menyimpan untuk menjual lagi saat harga lebih baik,” kata Srie.

Kementerian Perdagangan sebagaimana telah disampaikan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menengarai adanya mafia beras, yakni para spekulan. Akibatnya, terjadi kelangkaan di sejumlah tempat dan membuat harga melambung.

“Ada spekulan. Di Pasar Caringin yang kami datangi, kami tanyai pedagang. Mereka bilang, dulu minta 5 ton ke distributor untuk stok bisa turun sore itu juga. Tapi belakangan ini, seminggu baru diberi. Ada keterbatasan stok,” aku Direktur Bapokstra, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Robert J Bintaryo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Whats New
Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Whats New
Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Work Smart
Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Spend Smart
Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampaknya ke Industri Multifinance?

Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampaknya ke Industri Multifinance?

Whats New
Aturan Impor Produk Elektronik Dinilai Bisa Perkuat Industri Dalam Negeri

Aturan Impor Produk Elektronik Dinilai Bisa Perkuat Industri Dalam Negeri

Whats New
Cara Beli Pulsa melalui myBCA

Cara Beli Pulsa melalui myBCA

Spend Smart
Lima Emiten yang Akan Bayar Dividen Pekan Depan

Lima Emiten yang Akan Bayar Dividen Pekan Depan

Whats New
Pemerintah Dinilai Perlu Buat Formula Baru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Pemerintah Dinilai Perlu Buat Formula Baru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Whats New
5 Cara Beli Emas di Pegadaian, Bisa Tunai dan Nyicil

5 Cara Beli Emas di Pegadaian, Bisa Tunai dan Nyicil

Spend Smart
Masuki Usia ke-20, Sido Muncul Beberkan Rahasia Sukses Kuku Bima

Masuki Usia ke-20, Sido Muncul Beberkan Rahasia Sukses Kuku Bima

BrandzView
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com