Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Segara Buka Keran Impor Sapi Non Australia

Kompas.com - 06/08/2015, 12:06 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Posisi Australia sebagai satu-satunya negara pemasok utama sapi impor bagi Indonesia bakal tergusur. Sebab, pemerintah mulai membuka peluang impor sapi dari banyak negara. Salah satu langkah yang segera dilakukan adalah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan yang menyatakan impor sapi berdasarkan "country base" atau hanya boleh dari negara yang bebas PMK.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Muladno Basar mengatakan UU yang selama ini membuat Indonesia tergantung impor sapi dari Australia akan direvisi. Direvisi UU, pemerintah bisa mengimpor sapi dari negara-negara di dunia dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang disyaratkan agar tidak tertular penyakit ternak.

"Sebab selama ini, ada kesan dari pemerintah, apa pun yang berbau sapi impor datangnya cuma dari satu negara yaitu Australia," ujar Muladno, Senin (3/8/2015).

Menurut Muladno bila selama ini impor ternak hanya bisa dari negara yang dinyatakan bebas PMK, maka di aturan yang direvisi nanti, akan diubah menjadi memperbolehkan dari zonasi bebas PMK meski negaranya belum bebas PMK. Artinya meskipun negaranya tidak bebas PMK, tapi daerah yang menjadi sentra pembibitan sapi di negera tersebut harus bebas PMK. Dengan begitu, maka peluang impor sapi dari banyak negara terbuka lebar.

Upaya pemerintah mengurangi ketergantungan impor sapi bakalan dari Australia dalam rangka mendorong swasembada daging. Apalagi selama ini, tingkat ketergantungan terhadap impor sapi bakalan Australia sangat tinggi dan kondisi itu sangat merugikan bila suatu saat nanti, sapi Australia terkena wabah penyakit.

Berdasarkan catatan Kementan ada 31 negara alternatif impor sapi yang telah dinyatakan bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan bebas penyakit sapi gila oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE). "Sebetulnya ada 64 negara tercatat OIE bebas penyakit PMK, tapi hanya 31 negara yang telah bebas PMK maupun sapi gila," katanya.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam beberapa kesempatan mengatakan membuka peluang impor 1 juta sapi indukan dari India. Sapi-sapi itu untuk dibibitkan dalam negeri dan menambah populasi sapi potong agar swasembada daging bisa tercapai. Pernyataan Amran ini juga sebagai peringatan bagi Australia bahwa Indonesia tidak lagi menjadikan negara kanguru itu sebagai pemasok sapi impor utama ke Indonesia.

Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Teguh Boediyana mengatakan, berdasarkan rilis yang dikeluarkan OIE ada 64 negara yang dinyatakan bebas dari PMK seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Brazil, Belanda dan sejumlah negara lainnya.

Ia mengatakan, pada tahun 1980-an Indonesia pertama kali mengimpor ribuan ekor sapi perah dari AS. "Jadi Australia bukan satu-satunya sumber impor sapi," ujar Teguh.

Namun Teguh mengingatkan pemerintah kalau mau mengimpor sapi dari India. Mentan harus lebih dahulu mendengar masukan dan analisis dari pemegang otoritas kesehatan hewan tentang implikasi masuknya penyakit hewan menuluar seperti PMK. Apalagi pada tahun 2010, Makhakam Konstitusi (MK) sudah memutuskan bahwa pemerintah hanya boleh mengimpor sapi berdasarkan "country base" atau bebas PMK. (Noverius Laoli)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 28 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Investasi Aman, Apa Perbedaan SBSN dan SUN?

Work Smart
Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Harga Bahan Pokok Minggu 28 April 2024, Harga Daging Ayam Ras Naik

Whats New
SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

SILO Layani Lebih dari 1 Juta Pasien pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Whats New
Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Whats New
[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com