Demikian disampaikan, Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara, di Jakarta, Selasa (11/8/2015).
Akibatnya, kini nilai tukar rupiah sudah dikatakan undervalued. Indeks real effective rate (RER) sebagai pengukur daya saing mata uang sudah di bawah 90. Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Mirza, Indonesia tidak perlu ikut-ikutan China mendevaluasi nilai tukar mata uang.
Sebagaimana diketahui pemerintah China melakukan mendevaluasi Yuan terhadap dollar AS sebesar 1,86 persen, untuk meningkatkan daya saing produk ekspor. "Rupiah itu kan indeksnya di bawah 90. Jadi kebijakan depresiasi enggak perlu diikuti oleh Indonesia," ungkap Mirza.
Menurut Mirza tekanan terhadap rupiah sudah cukup banyak. Dibandingkan dengan Jepang misalnya, nilai tukar Yen terhadap dollar AS selama 2,5 tahun turun kisaran 25 persen.
Sebagai perbandingan lainnya, nilai tukar Won Korea sejak awal tahun 2015 sudah turun 6 persen. Apalagi kata dia, jika dibandingkan dengan mata uang Yuan China yang hanya 2 persen.
Atas dasar itu, ia menegaskan Indonesia tidak perlu mengejar daya saing produk ekspor dengan cara melemahkan rupiah. Lain halnya dengan Yuan China. Yuan China masih dinilai terlalu perkasa dalam menghadapi penguatan dollar AS. Padahal saingan dagang utamanya yakni Jepang dan Korea nilai tukarnya sudah tertekan lumayan dalam.
"Saingan dagang China untuk ekspor itu Korea, Jepang, Singapura, untuk produk-produk manufaktur. Sehingga China currency menguat, barang produk China jadi lebih mahal, sehingga kalah ekspor. Padahal pertumbuhan ekonomi China turun signifikan," ucap Mirza.
Baca juga: China Devaluasi Yuan, Bursa Saham AS "Kebakaran"