Akibatnya, setelah 2030, pasokan batubara untuk PLTU akan terancam. (Baca: Harga Batubara Masih Rendah, Program 35.000 Megawatt Terancam)
Untuk mengurai permasalahan ini, APBI-ICMA meminta lembaga konsultan PricewaterhouseCoopers (PWC) melakukan riset terhadap 25 perusahaan tambang batubara, dan memberikan alternatif usulan.
Berdasarkan hasil riset PWC, Pandu mengatakan, agar ada jaminan kepastian pasokan batubara, hal tersebut memerlukan kebijakan cost-based pricing system atau sistem harga berdasarkan biaya.
Kebijakan ini, di sisi lain, dapat memproteksi kenaikan harga listrik jika kenaikan harga batubara terjadi.
"Menurut analisis kami, efek dari kebijakan ini, pemerintah akan membayar semacam biaya asuransi (cost of insurance) sekitar 1 persen dari tarif dasar listrik untuk PLTU baru yang akan beroperasi pada 2019, dan 3 persen dari tarif dasar listrik untuk PLTU yang telah dibangun tahun-tahun sebelumnya," kata Pandu di Jakarta, Senin (7/3/2016).
Harga tarif dasar listrik dari PLTU yang akan beroperasi pada 2019 sekitar Rp 1.400 per kilowatt hour (kWh).
Apabila "premi" ini diterapkan, maka pemerintah harus membeli lebih mahal Rp 14 per kWh, menjadi Rp 1.414 per kWh.
Pandu menjelaskan, berdasarkan catatan terakhir APBI, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) hingga saat ini sudah menandatangani perjanjian pembelian listrik atau power purchase agreement (PPA) dengan pengembang sekitar 17.000 MW.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.