SURABAYA, KOMPAS.com – RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) untuk mengampuni wajib pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri, dinilai berpotensi melanggar sila ke-5 Pancasila, yakni “Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia”.
Denda sebesar 2 persen yang akan diberlakukan kepada wajib pajak pelanggar yang bersedia membawa masuk dananya di luar negeri ke dalam negeri, dianggap teramat kecil.
“Ini tidak adil bagi wajib pajak yang selama ini sudah mematuhi membayar pajak,” kata Indah Kurnia, anggota Komisi 11 DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) di Surabaya, Senin (27/6/2016).
“Pemerintah sangat percaya diri dengan rancangan UU yang sedang diplenokan di DPR RI ini. Begitu yakinnya, akan mendapat aliran dana masuk ke dalam negeri,” ungkap Indah.
Itu artinya, potensi penerimaan yang dimasukkan ke APBN-P 2016 sebesar Rp 165 triliun sudah dimasukkan ke dalam kebijakan fiskal oleh Kementerian Keuangan. Karenanya, telah memiliki konsekuensi politik.
Padahal, potensi penerimaan negara dari tax amnesty tersebut belum pasti benar bisa terealisasi.
"Kementerian Keuangan yakin, antara lain dengan menyatakan bahwa telah ada data pelaku usaha yang akan membawa masuk dananya ke dalam negeri by name by addres,” katanya.
Menurut Indah, pada 2018 akan ada kesepakatan internasional, yakni setiap negara bisa saling bertukar data perpajakan masing-masing negara.
“Dari pada melakukan pengampunan dengan potensi pendapatan yang kecil melalui RUU itu, hanya sekitar dua persen, kenapa tidak sekalian menunggu 2018 ketika informasi sudah bisa dibuka di luar negeri,” kata Indah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.