Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Teddy Oetomo

Head of Intermediary PT Schroder Investment Management Indonesia 

Bunga berbunga: Kawan atau Lawan?

Kompas.com - 01/08/2016, 20:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kata bunga berbunga sering membuat kita panas dingin, terutama bagi individu yang berhutang. Kita sering mendengar kisah individu yang terlilit hutang dikarenakan salah mengantisipasi akibat dari bunga berbunga.

Namun, di sisi lain, bunga berbunga dapat menjadi sebuah keuntungan yang besar apabila dilihat dari segi investor yang berinvestasi.

Mengapa bunga berbunga sering menjadi sosok yang menakutkan bagi peminjam? Bila kita ambil sebuah contoh, seseorang meminjam Rp 1 juta, dengan bunga 1 persen per bulan. Apabila diasumsikan individu tersebut sama sekali tidak membayar cicilan, maka setelah satu tahun, hutang individu tersebut menjadi Rp 1,126 juta atau sama dengan bunga 12.6 persen setahun.

Bahkan apabila pada contoh tersebut, diasumsikan bunganya adalah 2 persen per bulan, dalam satu tahun, hutang individu tersebut akan menjadi Rp 1,268 juta, atau bunga hampir 27 persen per tahun.

Dari contoh diatas, kemungkinan besar apabila kita ditawarkan produk investasi dengan jaminan pengembalian 27 persen, kita mungkin akan pesimis. Dengan semua berita negatif tentang investasi bodong, kita akan seringkali curiga terhadap produk investasi yang memberikan janji keuntungan yang di atas 25 persen.

Namun, di lain pihak, kita sering tidak berpikir dua kali saat meminjam dengan bunga 2 persen per bulan, atau sama dengan hampir 27 persen per tahun.

Meski begitu, apa yang dicontohkan di atas sama sekali bukan bermaksud menyatakan bahwa berhutang dengan basis bunga berbunga adalah sesuatu yang tabu.

Bila kita mengambil contoh di atas, di mana seseorang berhutang Rp 1 juta, dengan bunga 2 persen per bulan. Namun, individu tersebut membayar cicilan Rp 94,560 per bulan.

Maka di dalam kurun waktu 12 bulan, individu tersebut akan melunaskan seluruh hutang beserta dengan bunga yang dikenakan. Total pembayaran yang dilakukan individu tersebut selama setahun adalah Rp 1.134 juta.

Artinya, individu tersebut dikenakan bunga secara efektif sebesar 13.4 persen, bukan hampir 27 persen seperti yang diilustrasikan di atas dengan skenario di mana individu tersebut tidak melakukan cicilan pembayaran sama sekali.

Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa meminjam dalam bentuk bunga berbunga bukanlah sesuatu yang tabu. Namun, ketidakdisiplinan seseorang dalam membayar cicilanlah yang dapat membuat individu tersebut terjerat dalam hutang yang sangat besar akibat bunga berbunga.

Seringkali individu yang terjerat hutang menyalahkan aspek bunga berbunga dan menyatakan bahwa mereka terkejut atas skema tersebut.

Padahal bunga berbunga telah ditemukan dan diimplementasikan sejak beribu ribu tahun yang lalu, pertama di masa Babilonia. Sehingga, ini bukanlah sesuatu hal baru sama sekali.

Logika di balik bunga berbungapun sebetulnya cukup mudah dan adil. Bila diasumsikan seseorang meminjam Rp 1 juta dan berjanji akan membayar bunga 2 persen. Sebulan kemudian, individu yang meminjamkan uang tersebut, berhak atas Rp 1,02 juta.

Sehingga, apabila dikembalikan oleh peminjam, individu yang meminjamkan dapat memutarkan sebesar Rp 1,02 juta dengan kesempatan mendapatkan imbal hasil dari modal Rp 1,02 juta, bukan Rp 1 juta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com